Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Kala Ufuk Memerah

25 Februari 2018   23:10 Diperbarui: 26 Februari 2018   05:25 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
jembatan menuju matahari di ufuk

1/
Tidak ada yang lilitannya sedemikian ketat
sedahsyat ini. Terasa di kepala pusingannya
dan aku terus berdoa pada siang
hingga malam melampaui batas kehampaan.

"Biar kuselami gelapnya segenap sayat
yang mengepingiku, Tuhan, aku berserah".

2/
Belum kau rasakan benar cekikan sarkas
seremuk ini. Bukan semata belulang patah
batang leher terulir seperti karet, nafas sesak
dan hidup bakal segera lunas.

"Biar kau rasakan nyaring berdenting, gelegak
panas yang mengelupaskan kulit. Tuhan,
jauh jangkauan sakitnya pendakian ini."

3/
Aku berlari saja tanpa sempat menoleh,
sekali waktu kaki terantuk. Rontok semua
yang pernah lekat, meleleh, juga kau, ingatan.

Lipatan kerontang dari gumpal harap, lenyap.
Laut di depan, gelombangnya sunyi. Guntur
menyulut pohonan hingga berkobaran.
Aku diantara periang menata asap dalam apinya.

4/
Namun di sini aku terpuruk, nyaris ambruk.
Tak ada lambaianku untukmu. "Tuhan,
aku menyerah saja kala ufuk memerah".
Begini aku terdera perih dalam, letih tertanam..
Bandung, 25 Februari 2018

 Gambar

Simak puisi yang lain:

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun