Aku lupa  cara menulis puisi, apa dari remah kata
atau dari ramuan rasa
meski acap kali justru dari cecap tak tereja. Aku terkesima.
Tidak ada tanda-tanda cuaca, mendukung atau berkabung.
Aku lupa meracik bumbu dan bahan baku untuk puisi
agar tergigit  legit. Seperti adonan gula lengket
menjadi permen mainan lidah, manisnya, perjumpaan
dan kisah indah di dalamnya, untuk dijilat dan dikulum lembut.
Hingga lama aku termangu. Â Tanpa terasa sisa hidup makin sulit
pun alangkah sukar sekadar berkelit.
Aku bertanya perihal puisi padamu, agar  tak mudah basi.
Kini kumenulis tak lagi berbekal rasa-rumangsa. Â Tapi coretan suram
dari ceceran jejak logika, tanpamu. Langit, awan, dan padang terbuka.
Itu semacam kata-kata langka, ucap-sapa, lepas mengawang
bersayap, tersembunyi, gelap.
Bandung, 11 November 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H