Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

[RTC] Sepasang Sepatu Tua

3 November 2017   09:22 Diperbarui: 3 November 2017   10:17 954
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
running shoes (Foto: https://rosemarywashington.wordpress.com)

Kita hanyalah sepasang sepatu tua, kusam dan rombeng. Namun mengherankan masih dipercaya melindungi kaki tuan muda. Tentu tuan yang tua dulu tidak berkenan lagi pada jasa kita. Ia telah memenuhi batas waktu untuk berangkat dengan tanpa membawa perangkat apapun, terlebih sepatu.

Tuan muda sesekali bernostalgia, menyusuri jalanan berdebu, kadang becek berlumpur. Ia menyerahkan pada kita langkah panjang atau pendek, menjejaki perjalanan yang disebutnya berolahraga. Dan itu berarti kita beruntung tidak harus teronggok di gudang, bercampur mahluk lain yang merongsok tak berguna. 

Dulu kala tuan muda masih bocah, ia sering diajak tuan tua menyusuri hutan kecil di bukit dan lembah, diajak menyukuri keindahan alam di sekeliling rumah. Tuan tua  orang yang berbudi dan ramah. Ringan tangan untuk membantu. Jangankan kepada para tetangga, satwa dan tetumbuhan pun sering disapa. Sesekali diajak bicara, dan dicandai begitu rupa.

Kebiasaan itu ditiru tuan muda. Sekali waktu tuan muda mencandai kita dengan begitu lucunya. "Heran aku. Kalian selalu berpasangan, berdua intim kemanapun. Kapan nikahnya?" Aku diam, kamu pun tak bersuara. Lalu waktu berlalu bersama langkah, lari, berdiri, duduk, dan bercanda. Tuan muda pun sampai pada batas kesabarannya bersama kita.

Dengan berlinang air mata ia mencopot satu persatu kita dari kakinya. Pelan ia meletakkan aku dan kamu di depan batu nisan bapaknya. "Aku tidak bisa mengenang rute langkah-langkah kita lagi, Pak. Aku harus pindah ke luar kota. Doakan di sana kudapatkan masa depan yang baik, dan rute lain yang tak kalah menarik. Ini sepasang sepatumu kukembalkan padamu. Terima kasih. Bapak telah mengajariku cara berjalan, bahkan cara menapaki riuhnya kehidupan. . . .!"  

Sedih. Kita hanyalah sepasang sepatu tua, ada saat begitu bahagia bersama tuan yang sehat dan selalu tertawa menyapa sekelilingnya. Namun ada waktu lain ketika kita harus lebih meresapi kebisuan alam, tanpa kata-kata. Diantara batu-batu nisan, diantara jajaran pohon kamboja, diantara kelengangan suasana, dan pada semua kenangan yang harus dilupakan. Kini waktunya kita pun istirah di sini.

Di depan nisan tuan kita, dalam panas dan hujan, pada siang dan malam. Mungkin inilah saatnya kita menikah. Jangan menangis. Tuan muda meletakkan kita saling berhadapan, sepertinya ia tahu kebersamaan kita memang harus disahkan. Nikah. Lucu, ya? Pasti ia berharap kita makin sayang-menyayangi, seiring-sejalan sampai tua nanti, saat menuai banyak cerita indah serupa mimpi.

Cibaduyut, 3 November 2017

Gambar

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun