Seorang kawan bernama Okto* rajin berkabar dengan awal kalimat 'sesungguhnya', dan ia memang bersungguh-sungguh mengatakan apa yang diketahuinya. Itulah cara seorang Oktober menjabarkan nalar. Demikianpun ada manusia Oktober yang tidak pernah bersungguh-sungguh mampu menakar langkah, memilah cakap, mengedepankan keteladanan. Yang tampak hanya urusan rugi-laba, kalah-menang.
Keteladanan, adakah yang lebih optimistik darinya. Sayangnya kini keteladanan kerap sebatas pemanis pergaulan. Sulit sekarang menjumpai orang yang bersungguh-sungguh mengemukakan apa yang hendak dimaksudkan dengan sesungguhnya. Terlalu banyak tema untuk diucap, namun sedikit yang bermakna untuk dicecap. Diam pun tidak gampang. Â 'Orang memerlukan dua tahun untuk berbicara, tetapi limapuluh tahun untuk belajar tutup mulut'.** Sebuah nasihat sederhana bagaimana sebaiknya mengelola hati.
Delapan karakteristik baik pada mereka yang terlahir Oktober*** mungkin ungkapan jujur yang boleh dipercaya, tetapi sebaiknya diabaikan saja. Karena semua orang berhak memiliki sifat baik dan berguna, kapanpun ia lahir, bila ia mau memperjuangkannya. Sedangkan Oktober yang istimewa tetaplah istimewa meski ia lahir pada bulan lainnya.
Keistimewaan terbaik adalah kemuliaan diri manusia. Siapapun mestinya tak takut kalah untuk menggapainya. Kemuliaan untuk mewujud dalam berbaik sangka, berkata jujur, memantaskan setiap langkah dengan sabar dan syukur, mendoakan yang terbaik, memuji secukupnya, dan memotivasi siapapun untuk lebih baik. Oktober memberi kesempatan untuk lebih khusuk merenungi 'sangkan paraning dumadi'.
Bila ada seseorang yang terlahir Oktober namun dilekati keburukan dan pecundang, maka biarlah ia menjadi cermin retak tempat setiap orang membuang muka. Menjadikannya tak lebih monumen kegagalan, kreasi penuh cacat yang ditelantarkan, perilaku sesat yang tak termaafkan, kegundahan yang mengajak pada keputus-asaan. Ia ada di sekeliling kita, sekali waktu memanusia dengan segenap kelembutan hati dan keramahan ekspresi wajah, meski sebenarnya di dalam hati terdalam diliputi dengki dan kebencian. Pada waktu lain tanpa sadar ia akan memperlihatkan wajah asli, seraut wajah dungu mengancam penuh prasangka. Tapi benarkah itu bukan justru wajah kita?
Oktober akhirnya tak lain sebuah nasihat tentang kedatangan, tentang bayi merah yang menyerah pada tuntutan sejarah manusia, memanusia karena kasih sepasang orang tua dan kehendak Tuhan yang membuatnya ada. Nasihat itu dapat dibaca melalui larik demi larik  doa panjang setiap orangtua, melalui jejak panjang kehidupan dengan peradabannya, melalui tuntunan para nabi dan rasul yang membawa risalahNya. Memanusia mestinya merangkul segenap keadaban yang memuliakan.
Adakah yang lebih manis dibandingkan dengan pencapaian yang bermuara pada kemuliaan, juga kesejatian? Banyak jalan silang-sengkarut yang membingungkan, saat jalan lurus tak tampak nyata di hadapan. Banyak cara menuju jebakan lalai dan bersendau-gurau. Oktober, semata narasi perjalanan untuk saling mendekat, untuk bertukar nasihat. Mari mengisi hati untuk menggali kebenaran dan keikhlasan. Mari menjauh dari kubangan kerugian,*** sebelum sesal meruyak berkepanjangan.
Sekemirung, 26 Oktober 2017
Keterangan :
*Namanya Oktovianus (mendiang), kelahiran NTT.