Aku tak lain perahu kayu yang menua
perlahan maju memeluk ombak yang muncul beriring
gulir tipis ke pesisir. Dan kamu kedalaman laut
jauh dan suram, terbebani lupa yang luput disapa.
Perahu-perahu penuh ikan, langit pun akrab berkawan jaring.
Saat lain aku menjelma nelayan yang berpeluh
dibakar siang, juga dibedaki garam. Dan kamu
angin yang meniup layar, sesekali mendaki, berkibaran
menuntunku menuju daratan. Timur kemana arah kubur
bersama ikan-ikan bermain ombak
di muara tanpa cuaca yang mati dikuliti congkak.
Riuhnya kita berlomba memperebutkan musim
aku merawat beban sedu-sedan. Hujan tak tersua
pada paruh bulan berpantang. Dan kamu menakar
langit tembus pandang, luas menghadang.
Dermaga di ujung mata --sejauh rasa meradang-
berharap perahu terus melenggang.
Andai kita perahu kayu yang sama. Padamu buih
sekadar perih untukku bersimpuh. Pulau karang di laut
tenang, kelak rangkaian harap pasti berlabuh.
Kepada sesiapa kita menua, kembali dikenang
kisah putih-hitam manusia , hikayat sunyi perjalanan.
Bandung, 9 Agustus 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H