Aku ingin menggantikanmu, Nak
terbaring lemah di tempat yang asing
tapi betul tak mungkin.
Kau bocah dua tahun bahkan keras berpaling
wajahmu kau buang entah kemana.
Terasa penuh harap, entah merindu siapa.
Kaos merah yang ibumu bantu
untuk kau kenakan. Kontras dengan putih
kulitmu. Â Celana pendek biru, dan sepatu kain
menandaimu dalam perjalanan.
Masih adakah sisa tangis sebuah perpisahan.
Kesedihan apa lagi dapat kutumpahkan
untukmu, Nak. Sedang di tanahmu
bom-bom terus berjatuhan serupa hujan.
Negeri-negeri jauh mengirim dentum
agar kalian terus berbunuhan.
Juga gas kimia, musnahnya kemanusiaan.
Aku ingin menggantikanmu, Nak
terhempas dari perahu yang bertumbangan.
Penumpang berjubel ditikam gelombang
dicecar badai. Di sana, dalam pelarian panjang
pengungsian, tubuh mungilmu tercabik.
Perang mengganas, orang-orang kesurupan.
Tapi masih sempat kau buat selfie berlatar pasir
Pulau Kos dan belaian ombak riang berdesir
mengiris hatiku, Nak. Â Bagaimana mesti kulupa
meski dua tahun sudah kisahmu berlalu.
Masih terasa pedihnya hari ini, menyesali
perang sekadar mainan, tak kunjung usai..
Aku ingin menggantikanmu, Nak. Terbaring tenang
merenungi makna kekejian, Suriah, menyebut satu
negara. Compang-camping luka perang saudara
terus berdarah. Aku ingin menggantikanmu, Nak.
Sedang bara  perang terus merambat, begitu cepat.
Kutakut ceritamu tinggal dekat lagi, di sini!
Cibaduyut, 19 Mei 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H