Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tiga Tahun Merawat Ingatan di Kompasiana

17 Februari 2017   00:10 Diperbarui: 17 Februari 2017   20:57 591
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
menulis dengan komputer (ramweb.org)

Isi dan cetakan buku itu memang masih banyak kekurangan, dan yang terutama sangat tidak bernilai jual. Namun saya sangat berterima kasih kepada Pak Thamrin Sonata dengan penerbit Peniti Media-nya. Pak TS sangat bermurah hati membantu mengedit – membuat layout – mencari penulis testimoni sampai terwujudnya buku sederhana itu. Masih puluhan judul cerpen dan puluhan judul puisi saya menunggu untuk dibukukan berikutnya, namun ada saja kendala untuk mewujudkannya.  

Terkait dengan penerbitan buku cerita pendek dan puisi, untuk yang keroyokan jumlahnya 8 judul kumpulan puisi dan cerita pendek, yaitu Pelangi Cinta Negeri – 70 Tahun Indonesiaku, Pelangi Perempuan Negeri, Aku Punya Impian (terbitan tahun 2015), serta  Mak Renta, Katakan Cinta, Rampaian Puisi Apresiasi Sastra RTC, dan Rampaian Flashfiction aparesiasi Sastra RTC(terbit tahun 2016).

Buku keroyokan yang hari ini saya terima judulnya ’Seabad Setelah Merdeka’. Buku yang berisi puisi dan cerita dari hasil lomba Rumpies The Club diterbitkan Lingkar Mata. Kebetulan dalam lomba itu tulisan saya berjudul ‘Pembalasan Seratus Tahun Kemudian’ mendapat peringkat pertama.

Yang kedua, pembuktian diri dengan mengikuti sebuah lomba menulis novel 50 ribu kata selama 100 hari pada pertengahtan 2016 lalu. Judul novel itu ‘Cinta yang Menua’, menulis tanpa konsep, tanpa teori, dan tanpa pengalaman menulis panjang sama sekali. Meski terasa terlunta-lunta akhirnya sampai juga di garis finish. Sayangnya sampai saat ini tulisan itu tidak ada khabar beritanya.  

Lepas dari bobot yang masih kedodoran, menulis dengan intensitas tinggi sseperti itu selain melelahkan ternyata juga memberi keasyikan luar biasa. Pagi-siang-sore bahkan hingga lewat tengah malam terkungkung pikiran mau nulis apa lagi, bagaimana sambungannya, sambil mengingat-ingat karakter demi karakter yang muncul tanpa perencanaan pula. Seperti penulis skenario sinetron kejar-tayang, mungkin begitulah suka-dukanya berkomitmen dengan diri sendiri untuk ‘menulis novel meski hanya satu seumur hidup’.

Yang ketiga, saya menuliskan kembali laporan berbagai peristiwa yang terjadi di New Caledonia. Bahan mentah dikirimkan ke saya. Seorang teman meminta bantuan saya, ia menjadi Konjen RI di Noumea. Sepanjang tahun 2016 lalu lebih dari 20 tulisan terkait dengan jejak orang Jawa di New Caledonia, termasuk kunjungan Hamengko Buwono X ke sana, terpajang di Kompasiana. Berbagai bahan itu rencananya akan dibukukan dengan sudut pandang Pak Konjen Widyarka Ryananta.  Mudah-mudahan awal April 2017 nanti sudah terwujud.

Hal lain di Kompasiana saya merasa biasa-biasa saja, menjadi orang kebanyakan, sebab status saya masih bertahan pada ‘centhang hijau’, jumlah HL pun tak seberapa , begitu juga dengan jumlah hits dan komentar, minim. Tidak ada yang saya kejar ketika menulis di Kompasiana, sekali waktu muncul juga perasaan bosan dan lelah. Dalam kondisi itu saya menulis artikel ‘Kompasianer, Angka atau Manusia’.   Meski kerja sambilan, agak iseng-iseng, dan sering merasa tidak penting benar hasilnya apa, tapi sebenarnyalah menulis bukan pekerjaan mudah dan murah. Kegiatan itu memerlukan ketahanan fisik dan mental, dan itu tidak cukup diganjar dengan sekadar HL atau apapun. Menurut saya, penulis perlu disapa – ‘diaruhke’ dan cara lain apapun untuk di-manusia-kan.

***

Terakhir, menulis bagi saya adalah mengedukasi, terutama kepada diri sendiri. Tentu saja juga mengedukasi dalam mengisi hari-hari pensiun maupun merawat ingatan. Bahasa populernya, menolak lupa.

Begitu saja tulisan untuk mengingat perjalanan tiga tahun menulis di Kompasiana. Lepas dari semuanya sekali lagi saya sangat berterima kasih telah terwadahi sebagai bagian dari penulis Kompasianer. Terima kasih juga untuk komunitas Fiksiana Community, Rumpies The Club,maupun Kutubuku. Mudah-mudahan ke depan Kompasiana makin sukses, terus bersinar, dan makin arif dalam menjaga nuansa keberagaman-kebhinnekaan maupun perbedaan pendapat. Itu saja, mudah-mudahan catatan kecil ini bermanfaat. Salam hangat!***
Bandung, 16 Februari 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun