Sementara itu ia tidak mampu menghentikan proses pembangunan rumahnya. Utang di toko material makin bertumpuk, lalu pindah ke toko material lain. Dan akhirnya ia harus berurusan dengan bank. Rumah yang baru setengah jadi itu pun digadaikan. . . .!
Ketika rumah selesai, kemewahan dan kementerengan terpancar ke seantero kompeks perumahan. Eksterior rumah begitu wah, kalau sempat meninjau ke dalam rumah maka bakal melihat interior rumah yang canggih dan mewah. Namun tidak sampai tiga bulan tinggal di dalam rumah ber-AC itu Bang Hans Spatu merasa tidak kuat. Tanggihan dari bank mengharuskannya tidak hanya menggadaikan tetapi menjual rumahnya!
***
Lewat tengah malam ketika warga lain terlelap dalam istirahat, Hans Spatu mengajak isteri dan ketiga anaknya yang masih kecil-kecil berboncengan sepeda motor tua meninggalkan rumahnya. Tidak ada yang dibawa kecuali surat-surat penting kependudukan dan surat lain. Rumah yang semula terang-benderang pada malam hari itu, tiba-tiba tak berlampu, gelap-pekat, sepi tak berpenghuni.
Ketika warga tahu pagi harinya, mereka saling berkomentar: “Kasihan juga ya? Bang Hans Spatu membangun rumah untuk ditinggali sebentar kemudian ditinggalin.”
“Begitulah kehidupan!” sambung yang lain menyimpulkan, dengan rasa prihatin. “Punya rumah megah dan mewah itu tidak salah tapi perhitungkanlah dengan cermat, sebab salah-salah harus pindah. . . . .! Ah. . . ah!”***
Bandung, 3 Oktober 2016 M/2 Muharam 1438 H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H