Sementara banyak orang tidak kenal ayat-ayat Tuhan, ternyata makin banyak saja orang membuat tulisan seolah mau menyaingi ayat-ayat suci. Puisi ditulis mendayu-dayu, merayu merdu, kadang juga keras membatu, semata agar dibaca. Untuk dicuri hikmat dan hikmahnya kalau ada. Padahal sementara itu si gila-baca kadang berkelit dari ayat-ayat hidup dalam kitab-kitab suci yang turun dari langit.
Demikianlah kiranya puisi -dan juga lirik lagu- dapat ditafsirkan kemana makna keberadaannya. Dengan bahasa yang lebih sederhana serupa judul tulisan ini: hanya orang gila yang masih memaksakan diri menulis puisi. Herannya mereka ramai-ramai bikin antologi buku puisi.Kalau puisinya bagus dan sarat makna ajakan untuk kebaikan tidak mengapalah, tapi kalau sekadar berhaha-hihi, cuma semata menuntaskan hasrat sok aksi dan sok seksi bahkan sok bergengsi, maka  laknat apa entah kelak bakal diterimanya.
Tapi seperti orang gila lain, yang gila beneran karena stres berat dan karena ada gangguan kejiwaan, mereka tidak akan peduli pada komentar dan tanggapan apapun atas kegilaan mereka menulis puisi. Yang penting eksis dengan rumbai-rumbai kata dan tanda baca, kadang serupa mantra purba, lain waktu bercorak absurd, gelap dan tak terbaca. Entah sudah jauh kemana saja kegilaan itu mengiringi dan mengebiri kemanusiaan mereka. Tapi lihat para penulis puisi itu, betapa gagah dan agak pongah!
Hingga pada suatu hari nanti, mungkin, para penulis puisi itu kehabisan kata untuk dibualkan, kekeringan ide untuk dimuncratkan menjadi rimba kata, atau bahkan kehilangan akal untuk menulis tentang ajal yang segera tiba. Mereka akan kembali rindu mengutip ayat-ayat Tuhan, surat-surat Ilahi, huruf demi huruf yang tak berubah jumlah dan nilai ibadahnya. Saat itu mereka akan mengabaikan apapun yang pernah ditulisnya, untuk sadar, dan tanpa paksaan mengasah kembali kepekaan mengeja terhadap bunyi keseluruhan isi kitab suci.
Saat itu mungkin ia sudah menjadi orang lain. Yang tak hendak lagi berdiri tegak menghentak-hentakan kaki, menepuk-nepukkan telapak tangan di dahi, atau meminum sesuatu yang serupa bongkahan batu-batu api. Tak hendak lagi, mungkin. Sebab siapa tahu ia sudah punya kejernihan nurani, yang selama ini ditolaknya jauh: hanya orang gilalah yang masih menulis puisi. Itu dirinya dulu, mengakui meski malu. Tapi tidak lagi kini!
Bandung, 21 Agustus 2016
Tulisan sebelumnya
- bus-ekonomi-menuju-wetan-cerpen
- jessica-bebas-fakta-atau-fiksi
- -merah-putih-memudar- puisi
- pembalasan-seratus-tahun-kemudian - cerpen
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H