Bab IX – Tiga (Tantangan 100 Hari Menulis Novel)
Selesai sholat subuh berjamaah di masjid Al Falah, Arjo menyempatkan diri membaca beberapa ayat Al Qur’an. Lalu membaca doa keselamatan: “Allaahummaa innaa nas-aluka salaamatan fiddiin wa ‘aafiyatan fil jasadl. . . . . . . . . . .! (Ya, Allah. Kami memohon keselamatan agama, dan kesejahteraan badan. . . . . . )!” Arjo berdiam diri di masjid sampai sekitar pukul enam. Banyak orang lain masih tinggal dengan berbagai aktivitas dzikir, ‘itikaf, dan tadarusan, seraya memakmurkan masjid.
Udara pagi sejuk setelah semalaman hujan mengguyur. Arjo melangkah lebar-lebar menyusuri gang demi gang untuk sampai ke rumah kontraknya. Beberapa kali berpapasan dengan orang-orang yang dikenalnya hendak pergi ke pasar, juga beberapa orang yang baru pulang kerja shift malam. Namun pagi itu Arjo tidak ingin ngobrol dengan siapapun. Ada hal yang sangat penting yang pagi ini harus dilihatnya.
Saat bangun tidur tadi ia terima pesan lewat ponselnya. Dari Siwi, wartawati di konferensi pers di Mapolres. Agaknya nomornya dimasukkan kedalam jaringan wartawan Polres Kota Barat. Isinya singkat. Pemberitahuan: pagi ini dua geng bakal terlibat tawuran di seputar Pasar Kebon Klengkeng. Arjo sudah bisa menggambarkan dua kelompok yang akan berhadapan itu. Kelompok Cinta Damai dengan organisasi Seberang Lautan. Keduanya sudah lama saling mengambil keuntungan, saling menyerang, saling melukai. Dan bahkan dulu pernah ada yang terbunuh ketika dua kelompok itu tawuran. Dendam tak berkesudahan. Pihak kepolisian sudah mengetahui rencana itu. Wartawan mendapatkan bocorannya.
Sesampai di rumah kontrakan Arjo menghubungi balik pada Siwi. Ia ingin menanyakan kepastian informasi itu.
“Halo, mbak Siwi. Ini Arjo, kita ketemu di konferensi pers di Mapolres Kota Barat. Ingat ya?” ucap Arjo memulai pembiaraan.
“Ya ya, Bang, saya ingat. Sudah terima informasinya ya, Bang?” sahut Siwi membalas.
“Oke. Saya datang. Mungkin ada yang bisa saya lakukan untuk menghentikan, atau mendamaikan pertikaian itu jika mungkin. . . . .!” ujar Arjo kemudian menutup pembicaraan.
Setelah mengantongi ponselnya, Arjo merasa bingung mengenai kepentingannya apa ia harus berada di lokasi pertikaian dua geng. Namanya tawuran pasti terjadi perkelahian jalanan secara brutal. Jika kurang beruntung salah-salah justru menjadi korban. Arjo berpikir keras. Ia menduga-duga siapa tahu Wasi juga berada di sana. Ia pasti mengenali pimpinan kelompok Cinta Damai yang selama ini sangat dekat dengan papinya.
***
Di sebuah rumah yang besar dan mewah bernuansa Tionghwa sebuah keluarga juga sudah bersiap memulai kegiatan. Pagi-pagi Wasi sudah bersiap untuk menemui Arjo. Dua orang anaknya sudah berangkat ke sekolah dengan diantar sopir. Sejak papinya meninggal Wasi menemani maminya di rumah itu. Rumahnya sendiri di komplek perumahan di sudut kota yang lain dibiarkannya kosong.