Ketika pamit hendak berangkat maminya melarang ia pergi ke manapun. Wanita berdarah Sumatra itu mengingatkan bahwa hari itu akan ada rapat keluarga. Yang dibahas soal pengelolaan beberapa perusahaan peninggalan papi.
“Kita perlu rapat resmi. Lalu hasil kesepakatannya dibawa ke notaris. Ini agar semuanya jelas, ada kesepakatan, dan tidak timbul masalah di kemudian hari. . . . .!” ujar Mami yang sepagi itu juga sudah berdandan rapi.
“Soal perusahaan keluarga bisa kakak Wiyasa saja yang mengurusi. Apapun keputusannya Wasi setuju-setuju saja. ‘Kan Wasi sendiri sudah punya bisnis yang cukup maju!”
“Ya, persetujuanmu itu tetap saja harus dirapatkan. Dibuat resmi dan tercatat. Jadi semua tahu hak dan kewajiban masing-masing. Kakakmu sendiri ‘kan juga punya bisnis yang makin berkembang. Mami takut ia menolak untuk meneruskan usaha papimu yang memerlukan banyak tenaga kerja itu. Sementara kalau mami yang harus meneruskan, mami merasa tidak sanggup. . . . . .!” ucap mami Wasi menjelaskan.
Wasi merasa tidak perlu memberitahu Arjo bahwa di rumah maminya akan diadakan rapat keluarga yang harus diikutinya. Ia berharap rapat berlangsung cepat sehingga ia bisa cepat pergi ke lokasi tawuran akan terjadi.
***
Namanya memang Pasar Kebon Klengkeng. Seperti nama-nama lain yang dimulai dari kebon. Dulu –mungkin seabad lewat atau lebih lama lagi- di situ menjadi sentra perkebunan klengkeng. Buah bulat besar kecoklatan yang berasa manis dengan biji hitam itu menjadi primadona. Maka dikemudian hari daerah itu disebut sebagai Kebon Klengkeng. Ada lapangan sepakbola, masjid, perumahan penduduk, sarana berjudi dan prostitusi, dan tentu saja pasar.
Pasarnya berkembang sedemikian rupa sehingga dipenuhi pedagang kelontong dan elektronik. Pedagang besar di seluruh pelosok tanah air mengambil barang dari sana. Seiring dengan perkembangan perdagangan maka bekembang pula premanisme dengan berbagai jenis kejahatan yang melatar-belakanginya.
Hingga muncul kemudian nama Haji Lolong. Seorang warga keturunan yang mampu menjembatani berbagai kepentingan. Namun lebih sering membela kepentingan pedagang dari tindakan premanisme. Tak jarang bahkan lelaki itu melawan aparat penegak hukum, petugas pajak, dan kebijakan pemerintah yang merugikan pedagang. Perkelahian, tawuran, pembunuhan, dan tindak kriminal lain terjadi hampir seminggu sekali. Media banyak mendapatkan berita dari kejadian-kejadian di pasar ini. Sementara itu kelompok-kelompok preman datang dan pergi. Yang masih bertahan tinggal Haji Lolong yang dikenal memiliki nyawa rangkap, dan kemudian mendirikan organisasi pemuda Cinta Damai. Lelaki itu mempercayakan kepemimpinannya pada Timo Chow yang cerdas dan jago kungfu. Sementara musuh besarnya tak lain adalah Kelompok Seberang Lautan yang dipimpin Salim Buncis seorang disersi angkatan bersenjata.
Dua sosok itu yang memimpin di depan dalam persiapan tawuran di sisi kanan pasar. Kedua kelompok yang datang masing-masing dengan puluhan orang anggota, telah bersenjata siap berperang. Aneka senjata tumpul, tajam, bergerigi hingga ketapel dan busur dengan belasan anak panahnya telah dipegang oleh tiap anggota geng. Tawuran mengerikan bakal segera meletus.
Tentu saja toko-toko tutup. Pembeli dan pelayan pasar minggir. Satu-satunya yang datang dengan sikpa gagah berani, dan langsung berada di tengah-tengah dua pihak yang hendak bertikai itu tak lain ada sosok Raharjo Budiman alias Arjo Kemplu yang menjulang. Di tangannya ada megaphone dalam posisi on. Lalu suaranya lantang meneriakkan ajakan perdamaian.