Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

(Tantangan 100 Hari Menulis Novel) Cinta yang Menua - Bab VII – Dua

5 Juni 2016   14:24 Diperbarui: 9 Juni 2016   23:18 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
tawuran di pasar rebo. Sumber gambar: wartakota.tribunnews.com

“Ide yang bagus. Aku sampai tidak terpikir ke sana. . . .. .!” ucap Wasi seraya menggunakan ponselnya untuk menghubungi keluarganya. Maminya, kakaknya Wiyasa, dan dua anaknya Erwan dan Erwin. . . . .! Wasi juga menghubungi pamannya, seorang dokter bedah, dengan harapan dapat memberi jalan keluar kesulitan yang kini dihadapinya.

“Sudah semua. Apa ada lagi yang lain yang harus kuhubungi, Bang?”

“Sopir mobil papimu. . . . .!”

“Ya ya, hampir lupa aku, Mudah-mudahan mobil itu tidak terkena akibat kebakaran. Takutnya kena percikan api, atau malah terbakar sama sekali karena terlalu dekat dengan sumber api. . . . . .!” sahut Wasi dengan  penuh kecemasan.

“Bersikaplah tenang. Dengan begitu kita dapat berpikir jernih. Mudah-mudahan papimu segera mendapatkan penanganan. Setelah itu dipikirkan kembali apa tetap mau di rumah sakit ini atau pindah ke rumah sakit lain yang penanganannya lebih baik.. . . .” jawab Arjo memberi pilihan.

“Setidaknya di rumah sakit lain pasien IGD-nya tidak berjubel seperti di sini. . . .!”

Arjo mengangguk-angguk saja, lalu diam termenung, berdiri mematung bersandar tembok. Pikirannya keruh. Baru dirasakannya beberapa bagian tubuhnya panas melepuh karena tersengat api, baju dan celana sobek pada beberapa tempat, dan tenaganya habis terkuras. Tanpa berkata apapun ia melangkah ke pojok halaman rumah sakit/ Ia mengeluarkan sebatang rokok kretek, menyulutnya, dan mulai bermain-main dengan hembusan asap putih.

Beberapa pengantar lain juga merokok di dekat lampu taman. Padahal tak jauh dari mereka terdapat tulisan besar menyolok: Dilarang merokok di lingkungan rumah sakit. Orang-orang itu berlagak sebagai si buta huruf. Sedangkan yang lain berperilaku sebagai orang bodoh yang tidak memahami makna tulisan. Maka merokok pun berlangsung dengan sangat santai dan bebas.

Belum sampai lima sedotan, Arjo  melihat lambaian tangan Wasi. Maka puntung panjang itu dimatikan di tanah dengan tergesa. Sayang sebenarnya membuang rokok yang masih panjang. Kalau di rumah kost ia akan menyimpan puntung itu untuk dihisapnya kembali beberapa waktu kemudian.

“Apa jantungmu belum berlubang, Bang?” tanya Wasi setelah Arjo mendekat.

“Mana kutahu? Lagi pula aku merasa sehat-sehat saja kok. . . . .!” ucap Arjo berkilah. Padahal sebenarnya memang sesekali terasa nyeri di dada. Terlebih jika jumlah batang yang dirokoknya dalam sehari sampai satu bungkus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun