[caption caption="bersepeda di senja hari"][/caption]Cerita sebelumnya : cinta-yang-menua-bab-i - satu
Bukan Arjo Kemplu namanya kalau tidak bermodal nekat, tanpa menggunakan perhitungan akal sehat. Lelaki tua itu hanya seorang pemain drama pada sebuah grup teater kecil di Gang Klobot, jalan Muara Permata Timur, dekat Pelabuhan di utara Kota. Sesekali ia dipercaya menjadi penulis naskah dan sutradara. Jelas honor yang diterimanya kecil saja, sangat tidak mencukupi untuk menutupi gaya hidupnya yang boros itu.
Dua minggu terakhir ini ia pasang badan membuat perangkap untuk mangsa yang sudah lama diincarnya. Dan semua skenario sudah disusun detil dan lengkap. Di mana biasanya ujung kemacetan total di mulai, dan siapa saja yang terpaksa harus menggunakan ojek sepeda onthel untuk mencapai tujuan akhir karena desakan waktu. Ya, tentu terutama orang-orang pada beberapa menara kantor bisnis, termasuk sebuah kantor media penyiaran, Stasiun TV Nayaka, di ujung jalan sana.
Siang itu beberapa pengojek sepeda onthel menunggu penumpang dengan ngobrol. Ada juga yang main catur. Yang lain merokok dengan tubuh disandarkan ke tembok. Di luar panagkalan yang dinaungi seng, belasan sepeda onthel distandarkan berjejer rapi dalam posisi standby.
Arjo Kemplu seperti biasa menjadi semacam moderator. Ia mengatur lalu-lintas celotehan, dan menggiring peserta ngobrol pada topik yang telah disepakati. Topik kali ini berbentuk sebuah pertanyaan: Kenapa lelaki tua masih juga suka perempuan muda? Lalu bagaimana cara mewujudkan cinta itu?
“Kenapa bisa begitu, ya?” pancing Arjo dengan mimik ingin tahu, memancing teman-temannya berkomentar.
“Topik kali ini agak kurang relevan. Dari sekitar tiga puluh orang pengojek hanya lima orang yang tua renta seperti sampeyan. Mestinya topik diganti saja: kenapa lelaki jelek selalu kepincut pada perempuan cantik? Nah lelaki jelek itu bisa saja sudah uzur, tua-renta dan bau tanah. . . . !” kata Mas Badri yang mantan pegawai negeri itu panjang lebar. Orang-orang serius mendengarkan. Dalam hati begumam: kalau tidak sedang berjudi agaknya ia cukup normal untuk berpikir kritis.
“Oke, ganti saja. Permintaan Mas Badri diterima. Nah, pembicaraan dilanjutkan. . . . .!” ujar Arjo dengan terkekeh. “Ayo, siapa lagi yang ingin menanggapi, menyalahkan atau membenarkan?”
“Aku punya ide ini. Bagaimana kalau orang-orang jelek itu bersatu dan menculik cewek cantik yang menjadi incarannya. ‘Kan ada adat di daerah yang membenarkan tindakan itu?” ucap Santos yang berkepala plontos.
“Menculik? Apa orang yang jatuh cinta seperti aku ini harus menggunakan cara sadis itu? Kayak di sinetron saja. . . . .!” komentar Arjo setengah jengkel namun pada saat yang sama agak geli juga. Pikiran liar seseorang bisa sangat mengagetkan, bahkan untuk orang yang sudah terbiasa dengan berbagai cerita fiksi yang absurd seperti dirinya.
“Jatuh cinta?” giliran pengojek lain, Jimo Ladrang, nyeletuk kaget. Penasaran.