Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Gerhana Matahari Total, Menandai Sesuatu yang Berbeda

10 Maret 2016   11:15 Diperbarui: 14 Maret 2016   17:08 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagi umat islam yang tidak berhalangan -atau punya kepentingan tertentu- menjalankan sholat gerhana hukumnya sunah muakad, hampir wajib. Sholat dengan dua rekaat dengan empat kali membaca Al Fatihah dan surat, serta empat kali rukuk  itu untuk wilayah Bandung kemarin dilakukan sekitar pukul 07.00 WIB. Diawali dengan takbir-tahmid-tahlil, sholat, lalu khutbah, dan bersedekah (tanpa adzan dan iqamat).

Sementara bagi orang lain (termasuk muslim) ada yang memilih menonton fenomena alam yang menunjukkan kemahakuasaan Allah SWT dalam mengatur dan memelihara semua ciptaannya, termasuk keteraturan benda-benda langit (bintang, planet, bulan, tatasurya, dll.). Menonton langsung di luar rumah, di lokasi-lokasi yang tidak terhalang dan lokasi ketinggian ke arah matahari terbit), atau menoton siaran langsung di layar televisi.

Namun tidak semua orang pada lokasi pemantauan gerhana matahari yang beruntung dapat melihat proses peristiwa alam yang menakjubkan itu karena terhalang mendung. Juga di Bandung (meski tidak dilewati gerhana matahari total), mendung menggelayuti di atas kota. Tidak ada yang dapat dilihat.

Menonton detik-detik krusial pada peristiwa gerhana matahari total, atau sholat sunah berjamaah di masjid, merupakan dua hal yang harus dipilih. 

Pentutup

Gerhana matahari kemarin membuktikan pada kita banyak hal yang berubah, bergeser, dan tentu juga tidak sama. Posisi dalam satu garis antara bumi, bulan dan matahari (yang berputar pada orbit masing-masing) suatu ketika terletak pada posisi itu.

Peristiwa itu mengharuskan kita berpikir, dan terus berpikir. Berpikir tentang aneka ciptaan, dan terlebih kepada Sang Pencipta sendiri. Berpikir pula di mana posisi manusia, di mana posisi kita, dan tentu juga bagaiaman kita menempatkan Sang Maha Segala atas kita. Kalau hal-hal seperti itu tidak membuat kita mawas diri, merendah dan merasa diri kecil, serta tetap merasa  tidak sanggup memenuhi aturan (perintah dan larangan) Allah; maka dengan cara apa lagi kita dapat melembutkan hati kita masing-masing.

Demikian sekadar catatan kecil, sekaligus sebuah ingatan tentang gerhana matahari pada 9 Maret 2016. Terimakasih telah sudi menyimak. Mohon maaf jika kurang berkenan.

Bandung, 10 Maret 2016

Sumber gambar :

1. gerhana-matahari-total

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun