[caption caption="model rumah pedesaan sederhana "][/caption]
Minggu pertama, terinspirasi Puisi Taufik Ismail ‘Dengan Puisi Aku’
“Boleh saja bertengkar dan berkelahi, saling mencakar dan melukai. Tapi pasti akan menyesal nanti. Kalian bersaudara kandung. Kenapa tidak menunjukkan perbedaan dengan saling memahami dan mengikhlaskan. . . .!” kata Ayah tegas disela persiapan pergi mengajar. Ia coba melerai ketiga anaknya yang gaduh pagi itu.
Suasana sebelum berangkat ke sekolah selalu begitu. Setelah sholat subuh berjamaah. Mereka beradu cepat masuk kamar mandi. Saling lempar tanggungjawab menyapu dan membersihkan kamar tidur. Dan kemudian akan beralih ke masalah seragam sekolah dan sarapan.
Tentu Ayah tak bosan mengulang nasehatnya. Sedangkan ibu tak sempat lagi berkata apa-apa. Kesibukan di dapur mengharuskan Ibu bekerja saja.
Beruntung anak-anak tidak membantah ucapan Sang Ayah. Mereka segera menyurutkan ego masing-masing. Lalu saling lirik, coba tersenyum , menjulurkan lidah.
Keluarga sederhana itu pun duduk di meja makan. “Ibu sudah membagikan sarapan kalian. Anak SD dan anak SMA berbeda ukurannya. Harus saling pengertian. Dadar telur ayam dua butir, ditambah sayur dan sedikit tepung untuk lima orang. Tidak ada yang protes ‘kan?” ucap Ibu kemudian.
Ketiga anak mengangguk. Juga bapak. Mereka tersenyum. “Ayo kita berdoa. Doa makan. . . .!” ujar Ibu lirih, dengan pelupuk mata berlinang. Alangkah indah seuntai puisi pagi ini, serunya dalam hati.
Bandung, 5 Maret 2016
===
Puisi Taufik Ismail