Ini soal judul menjudul, dan soal padanan kata, yang mungkin dan hampir pasti setiap penulis sekali waktu pernah terbentur dan dibuat kesulitan karenanya. Hari ini saya baca judul itu, dan ada kata digilir. Meski sudah ditambahan dengan kata astaghfirullah, tetaplah kata digilir memunculkan kesan dan pesan yang brutal, sadis, porno, mesum, dan gendeng/edan/gila, jadi satu.
Pada suratkabar, majalah, tabloid, atau terbitan lain yang sering disebut dengan koran kuning, atau koran merah, atau majalah dewasa, kata digilir sering dipertukarkan atau diselang-seling atau divariasikan dengan kata : dijadikan bancakan, diantri, dan entah apa lagi. Pembaca setia Pos Kota, Lampu Merah/Kuning/Biru dan suratkabar sebangsanya pasti hafal belaka kata-kata seronok pada judul-judulnya.
Salah, Kurang Cermat
Saya sekilas baca merasa ada yang salah dalam penulisan judul itu. Barangkali penulisnya agak kurang memperhatikan, sekedar kurang cermat, tidak sengaja/sadar, atau entah apa. Tapi betul judul itu sangat (mohon maaf) bombastis, dan berkonotasi mesum. Saya rasa suratkabar/tabloid/majalah terhormat akan sangat malu bila harus menuliskan judul seperti itu. Lebih lagi, judul serupa itu pernah menemukan kejayaannya, namun masa itu sudah lama berlalu.
Saya merasa Admin agak kurang cermat, kalau tidak boleh dibilang sembrono dan kecolongan.
Bagi saya isi tulisan itu tidak ada masalah. Meski kesannya seperti penulis melaporkan setelah berada di TKP. Semata-mata judul yang mengganjal. Dan ini pembelajaran bagi saya pribadi, saya akan sangat malu pada anak-cucu karena memiliki karya tulis yang judulnya bahkan film-film era tahun 1970-1980an pun rasanya enggan menggunakannya. Rasanya….!
Soal Kecil, Teraktual
Tentu kata digilir hanya soal kecil, sebab begitu ada rasa kurang enak karena tulisan ini dapat secepatnya diubah, diganti, diperbaiki, dan atau diperhalus. Dan memang dengan maksud itu pula tulisan ini saya buat. Sekaligus mengingatkan kita semua: tolonglah lebih berhati-hati lagi dalam membuat judul, terlebih bila harus menggunakan kata-kata seperti itu.
Saran saya gunakan kata lain, semisal dilecehkan, dicabuli, atau entah. Tapi ah…. Kata pengganti itu pun terasa tidak mengenakkan. Apa komentar Anda?
Tapi memang peristiwa itu sendiri sangat-sangat menyesakkan dada. Memang mestinya lebih dari sekedar memperbaiki judul tulisan, alangkah lebih penting perbaikilah perilaku dan akhlak anak-anak kita. Pertebal keimanan dan ketakwaan mereka. Perbesar pengawasan orangtua-sekolah dan aparat berwenang. Dan entah apa lagi, sampai nggak bisa mikir. Dan judul itu masih tetap salah satu yang teraktual sampai kini. Astaghfirullah!
Bandung, 11 April 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H