Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Perempuan Renta dan Kutukannya, Puisi

27 Maret 2015   11:29 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:55 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

ilustrasi/Kompasiana(sumber:kvltmagz.com)

1

Kamukah itu perempuan renta yang mengendap penat menjinjing sunyi, adalah kesia-siaan yang kamu pungut dari tiap langkah bahkan tiap tarikan nafas yang menyesak di dada dari hari ke hari. Kamukah itu perempuan keriput yang tak menyisakan tawa pada  bibirmu yang terus menggigil melafalkan kata maaf tiada henti.

Subuh tak lama lagi berlabuh, dan pada sekujur  yang ringkih semua beban bakal segera memberati pundak juga punggungmu hingga satu demi satu anggota tubuh pun merapuh kalah

2

Di belakang ribuan kota, jutaan peristiwa, milyaran butir air mata mengambang mengikuti jejakmu yang limbung, sesekali rintih bercampur lenguh dan dzikir serupa semilir angin menuruni  lembah terjal, lalu mendaki bukit ilalang tempatmu meneduhkan hati pada gubuk tua tanpa pintu dan jendela

Di atasmu hanya kerlip bintang di ketinggian mempermainkan perasaanmu pada malam-malam gelap ngelangut menyisakan bayang-bayang tak berwujud, yang begitu lama mengajakmu untuk bersimpuh pasrah

3

Bocah-bocah mungil dulu telah tumbuh menua menjadi serupa orang dengan bahu lebar wajah merah dan gengam tangan berotot untuk berebut sekedar kesempatan mengais remah. Mereka itu tentu anak-anakmu, lalu dari perjodohan diantara mereka lahir cucu, seterusnya lahir para cicit dan berpinak buyut

Puluhan, ratusan, atau ribuankah mereka kini yang tak segan saling bergelut memperebutkan nama leluhur yang akan dipuja-puji menjadi semacam sesembahan untuk aneka keperluan duniawi

4

Mereka akan menjadikanmu  patung raksana di tengah kota, dengan wajah sumringah tangan melambai pada semua impian yang tak juga lekas tergapai. Mereka akan menjadikanmu nama jalan raya, lapangan terbang, pelabuhan, gedung pencakar langit, dan kemudian akan memajang wajahmu pada materai, perangko, sampul buku pelajaran, poster, pamflet, baligo, dan lembar uang dengan nilai tertinggi

Mereka akan membuatmu menjadi setengah dewa yang mengharuskanmu setia mengantarkan doa-doa mereka kepada Sang Penguasa Langit dan Bumi

5

Tapi kamu akan tetap menyendiri, berabad-abad hilang mengisi ruang-ruang kosong di belantara gersang sambil menjinjing sunyi memeram luka, tertatih menelusuri jalan keabadian yang berkelok- berbatu-sempit namun jauh tak terkira-kira. Sempat kamu lihat mereka mengikutimu sesaat lalu bersilang jalan, mereka memutar, menikung, memastikan dan meragukan, gamang, gelap, setelah itu menyebar tanpa arah entah kemana

Mereka mencarimu berbilang waktu, namun pada saat yang sama tidak peduli bahkan benci tidak mengacuhkanmu. Sungguh, mereka memilih menjadi orang lain, tanpa sepatah kata maaf pun,  daripada abadi sebagai penggoda dunia seperti rapal  kutukanmu!

Cibaduyut, 26 Maret 2015



Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun