ilustrasi/Kompasiana(sumber:kvltmagz.com)
1
Kamukah itu perempuan renta yang mengendap penat menjinjing sunyi, adalah kesia-siaan yang kamu pungut dari tiap langkah bahkan tiap tarikan nafas yang menyesak di dada dari hari ke hari. Kamukah itu perempuan keriput yang tak menyisakan tawa pada  bibirmu yang terus menggigil melafalkan kata maaf tiada henti.
Subuh tak lama lagi berlabuh, dan pada sekujur yang ringkih semua beban bakal segera memberati pundak juga punggungmu hingga satu demi satu anggota tubuh pun merapuh kalah
2
Di belakang ribuan kota, jutaan peristiwa, milyaran butir air mata mengambang mengikuti jejakmu yang limbung, sesekali rintih bercampur lenguh dan dzikir serupa semilir angin menuruni lembah terjal, lalu mendaki bukit ilalang tempatmu meneduhkan hati pada gubuk tua tanpa pintu dan jendela
Di atasmu hanya kerlip bintang di ketinggian mempermainkan perasaanmu pada malam-malam gelap ngelangut menyisakan bayang-bayang tak berwujud, yang begitu lama mengajakmu untuk bersimpuh pasrah
3
Bocah-bocah mungil dulu telah tumbuh menua menjadi serupa orang dengan bahu lebar wajah merah dan gengam tangan berotot untuk berebut sekedar kesempatan mengais remah. Mereka itu tentu anak-anakmu, lalu dari perjodohan diantara mereka lahir cucu, seterusnya lahir para cicit dan berpinak buyut
Puluhan, ratusan, atau ribuankah mereka kini yang tak segan saling bergelut memperebutkan nama leluhur yang akan dipuja-puji menjadi semacam sesembahan untuk aneka keperluan duniawi
4
Mereka akan menjadikanmu patung raksana di tengah kota, dengan wajah sumringah tangan melambai pada semua impian yang tak juga lekas tergapai. Mereka akan menjadikanmu nama jalan raya, lapangan terbang, pelabuhan, gedung pencakar langit, dan kemudian akan memajang wajahmu pada materai, perangko, sampul buku pelajaran, poster, pamflet, baligo, dan lembar uang dengan nilai tertinggi
Mereka akan membuatmu menjadi setengah dewa yang mengharuskanmu setia mengantarkan doa-doa mereka kepada Sang Penguasa Langit dan Bumi
5
Tapi kamu akan tetap menyendiri, berabad-abad hilang mengisi ruang-ruang kosong di belantara gersang sambil menjinjing sunyi memeram luka, tertatih menelusuri jalan keabadian yang berkelok- berbatu-sempit namun jauh tak terkira-kira. Sempat kamu lihat mereka mengikutimu sesaat lalu bersilang jalan, mereka memutar, menikung, memastikan dan meragukan, gamang, gelap, setelah itu menyebar tanpa arah entah kemana
Mereka mencarimu berbilang waktu, namun pada saat yang sama tidak peduli bahkan benci tidak mengacuhkanmu. Sungguh, mereka memilih menjadi orang lain, tanpa sepatah kata maaf pun,  daripada abadi sebagai penggoda dunia seperti rapal  kutukanmu!
Cibaduyut, 26 Maret 2015