Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pertengkaran Suami-Isteri, Diusir, dan Berakhir di Bui

11 November 2014   20:08 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:04 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

KEHADIRAN ANAK mestinyamenjadi perekat keutuhan dan keharmonisan sebuah rumah tangga. Tapi karena anak pula suami-isteri mengeluarkan sifat asli. Bengis, pemarah, saling membenci, dan ujungnya bertengkar, berantem, adu kuat berteriak, menggeram, kepala panas menggelegak bagai berasap.

Dua anak lelaki kembar yang belum sepuluh tahun itu bisa dibilang ada kelainan entah apa, untuk berobat mahal dan sulit, namun bila tidak diobati bikin runyam. Ada dokter  yang bilang mereka menderita autis, ada kelainan mental  lain, dan secara psikologis menderita trauma apa belum ditemukan diagnosisnya.

Maka suasana hidup keluarga itu, suami Kandar dan isteri Sartiwi, makin menjadi-jadi saja panasnya. Pagi, siang, sore bahkan sampai  tengah malam para tetangga dibuat tidak tenang. Warga sekitar terusik dan tidak senang. Bukan saja kata-kata kasar dan keras, saling maki, saling fitnah, tapi juga disertai aksi brutal memukul-mukul tembok. Padahal mereka hidup pada rumah-rumah petak murah. Satu dinding berbahan batako pun dipakai dua rumah. Maka setiap kali dinding bergetar karena pukulan dan tendangan. Getaran dan suara tambah riuh manakala aneka suara barang dapur  beterbangan, dilempar atau dibanting.

Dudi dan Doni dua anak yang punya kelainan entah itu,  yang semula ribut, saling teriak dan saling cakar, dibuat berhenti seketika. Keduanya terduduk di lantai, ganti menikmati pertengkaran kedua orang tua mereka.

SEORANG TETANGGA, Pak Markun, Ketua RT setempat yang bekerja sebagai Satpam sebuah perusahaan garmen bergegas mendatangi  rumah itu. Begitu setiap kali, berapa belas kali, mungkin sudah tiga puluh kali. Darah tingginya kumat. Langkahnya gontai dan menjejak jebol pintu depan rumah itu dengan sekali hajar.

“Kalau kalian mau saling bunuh, cepat lakukan. Kami para tetangga sudah muak. Setahun terakhir ini pertengkaran kalian makin tidak bermutu. Suara saja yang ribut, tapi tidak ada penyelesaian sama sekali. Tidak ada yang cedera atau sekalian mampus salah satu supaya tidak berkelahi lagi. Kami  ingin hidup bertetangga dengan tenang, dengan damai.. . . . .!”

Kandar yang hanya berkaos singlet dan Sartiwi  mengenakan daster lusuhnya sudah bersiap untuk saling lempar piring, tapi kedatangan Kandar mengurungkan amarah keduanya. Mulut mereka pun seketika terkunci. Mata mendelik tapi tidak untuk bicara sesuatu.

“Atau kalau tidak, kalian bercerai saja baik-baik. Rumah ini dijual, dan harta benda dibagi dua. Tanggungjawab anak juga dibagi dua. Supaya tidak ada lagi pertengkaran. Sebagai Ketua RT, saya beri waktu sampai besok pagi. Pilih saja, kalian bercerai atau apa saja asal meninggalkan kampung ini. Jika tidak jangan salahkan warga ketika rumah ini rata tanah, menjadi abu besok . .! Camkan itu!” kandar meludah ke lantai, lalu pergi dengan menendang keras pintu, hingga jebol berantakan.

BENAR SAJA, pagi-pagi sekali, suami-isteri dan dua anak yang mengalami kelainan itu pergi. Dua Buah mobil bak terbuka membawa perabotan. Suami-isteri itu menunduk, diam, dengan air mata diam-diam meleleh deras. Mereka tampak begitu rukun, saling bantu saling berkata lirih. Dudi dan Doni pun seolah tahu suasana suram pagi itu dengan tidak banyak tingkah.

Warga kampung trenyuh dan tidak sampai hati sebenarnya. Tapi tidak ada pilihan lain. Sartiwi pamit hanya pada Bu Rubinah, isteri Pak Ketua RT, dengan mengucap terimakasih dan mohon maaf.  “Sepeninggal kami jangan ada lagi pertengkaran keluarga di kampung ini ya, Bu! Biarlah kami saja yang mengalaminya!” Keduanya berpelukan dan isak kecil tertahan.

Begitulah, minggu-minggu pertama kampung itu tenang, tenteram, dan sejuk. Warganya kompak, bekerja giat dan akrab. Sebuah perubahan yang melegakan.

Sampai suatu hari Markun pulang mabuk. Mungkin ia membuat kesalahan di pabrik, atau ada persoalan kepegawaian dan masalah uang. Yang jelas ia dipecat. Kemarahannya memuncak sebab ditemukan isterinya –Rubinah- pergi dengan lelaki lain. Anak semata wayangnya ditinggal kelaparan di rumah. Ketika si isteri pulang dengan dandanan menor, pertengkaran pun tak terelakkan, si pemabuk dengan si peselingkuh!

Kampung itu, hari-hari kemudian, kembali ramai oleh teriakan, makian, pukulan di dinding, dan nyaring bunyi barang pecah belah berantakan, termasuk gelas, piring dan perabotan dapur lain.

ENTAH mendapatkan khabar dari mana, suatu pagi Kandar dan Sartiwi yang telah lama menghilang tiba-tiba muncul di depan pintu rumah Markun.  Pertengkaran antara Markun dengan isterinya Rubinah baru akan dimulai.

Markun dan Rubinah saling mempelototkan mata dengan pandangan bengis, menggeram-geram seperti harimau lapar. Entah mengapa dalam setiap pertengkaran Markun dalam kondisi setengah mabuk. Wajahnya memerah, tangan tegang mengepal-ngepal, dan bibir melambai-lambai seperti motoris yang ngebut tanpa helm pada kecepatan di atas seratus kilometer per jam. Tentu saja Markun malu mendapati Kandar dan Sartiwi tiba-tiba muncul dan hanya termangu-mangu menonton.

Tapi Kandar dan Sartiwi tidak bicara apapun. Ia menunggu apa yang akan dilakukan suami-isteri yang pernah mengusirnya itu. Diam tanpa berkomentar, menonton dengan rasa ingin tahu yang dalam, lalu menganngguk-angguk dan tersenyum tipis. Seperti ejekan, atau bermakna lain sulit ditebak. Tapi pertengkaran tidak mungkin ditunda, amarah sudah di ubun-ubun. Dan keributan pun pecah tak ada yang berani memisah.

Setelah pertengkaran selesai Kandar dan Sartiwi pergi diam-diam. Dan sejak itu tanpa sebab jelas  makin banyak saja pertengkaran keluarga, adu mulut, saling gertak, berkelahi, dan saling ancam. Soal mengasuh anak, masalah gaji, persoalan pekerjaan, persaingan bisnis, kerumitan selingkuh, soal kecenburuan sosial antar tetangga, bahkan soal remeh-temeh lainnya. Ketika pertengkaran berlangsung, mendadak Kandar dan Sartiwi datang seperti siluman, berdiam, dan menonton. Tepat sesaat sebelum pertengkaran hebat dimulai.

Kalau dalam semalam ada dua atau tiga pertengkaran keluarga, di tempat-tempat itu pula kedua pasangan itu selalu muncul,  dan dalam waktu yang bersamaan!

HARI-HARI berlalu tanpa bisa ditahan untuk sedikit melambat. Peristiwa dan jutaan cerita berjejalan di media, hingga tumpah-ruah seperti air bah. Diantara banyak cerita tragis tadi pagi sebuah berita di koran lokal menggemparkan warga:  “Suami-isteri kaya raya Kandar dan Sartiwi digerebek polisi karena diduga sebagai bandar sabu. Dalam pengakuan kepada polisi, mereka mengonsomsi sabu untuk meredakan kemarahan dan pertengkaran yang telah mereka jalani hampir sepuluh tahun semenjak anak kembarnya lahir”.

Wartawan tidak memerinci lebih jauh, kalau sekedar untuk kepentingan pribadi kenapa mereka menjadi bandar?  Mungkin setelah jadi bandar sabu kesulitan keuangan tidak ada lagi. Biaya hidup untuk Dudi dan Doni teratasi. Biaya rumah-tangga tersedia. Atau pengaruh sabu menjadikan mereka lebih cinta-damai. Entahlah. Yang pasti bukan karena ada kekerasan dalam rumah tangga, apalagi tindakan kriminal yang sadis, yang menghadapkan mereka pada ancaman bui.

Tentu nanti di pengadilan, suami-isteri itu harus menjawab jujur kenapa dan bagaimana hingga terseret pada tindak kriminal itu.

Cibaduyut, 4 Maret – 11 November 2014

----------------

Cerpen sebelumnya :

http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2014/11/01/menagih-janji-kampanye-pak-gubernur-700097.html

http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2014/10/14/menjadi-orang-bebas-695630.html

http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2014/10/11/empat-cerita-penjemput-maut-694716.html

http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2014/10/07/darji-minggat-untuk-selingkuh-693904.html

http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2014/10/05/orang-orang-gila-menjajah-kota-693227.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun