Aku nakhoda dan kamu lumba-lumba yang beriringan memutus samudera, di bukit ombak memancang hingga puncak tiang kapal, langit mengirim sekumpulan camar terbang rendah lalu mencumbu buih, di ufuk gugus pulau menunggu, dan aku terpaku menyulap harap kehadiranmu
Aku pengail tua dan kamu mujair kurus berputus-asa di sela bebatuan pabila air sungai meluap di ujung penghujan merampok cuaca, siapa yang harus jatuh kasihan meski kita saling berkeluh, pancingku bahkan tak berumpan dan aku telah terduduk di balik rumpun bambu menunggu sejak setahun lalu, jangan sangka aku tak sudi menyambut kehadiranmu
Aku lelaki murung terkurung dinding dan kesendirian dan kamu koi merah tak henti meliuk dan melonjak diantara koi lain dalam kolam besar yang terus meruapkan gelembung angin di sela air yang mulai keruh, aku menunggu ingin merengkuhmu untuk berbalas kisah, namun tak kutahu bagaimana kamu dapat seketika mengubah wajah jadi perempuan lincah
Aku tak tahu siapa diriku kini setelah semua angan menjelajah, dan kamu selalu mengikuti kemana ekor mataku menyelinap, bahkan bila senyumku tercecer dalam gemetar langkah mengitari dunia kecilku, rumah-akuarium-taman-perpustakaan-kolam ikan dan kebun buah di belakang kolam. Mestinya aku menunggu satu waktu kamu menjadi bagian dari perbincanganku dengan entah siapa yang datang dan pergi di kolam itu
Bandung, 21 Oktober 2014
Sumber gambar:
http://africantapestry-art.com/tag/koi-fish/
Puisi sebelumnya:
http://fiksi.kompasiana.com/puisi/2014/11/20/menyimak-ironi-di-koran-pagi-704749.html
http://fiksi.kompasiana.com/puisi/2014/11/07/tonggak-waktu-701548.html
http://fiksi.kompasiana.com/puisi/2014/10/26/biarkan-pagi-menulis-puisi–698303.html
http://fiksi.kompasiana.com/puisi/2014/10/19/melontar-tanya-tak-terjawab-696605.html
http://fiksi.kompasiana.com/puisi/2014/10/13/merindu-rumah-tua-695093.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H