Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Di Atas Gerobak Dorong

26 Februari 2015   21:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:27 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_399692" align="aligncenter" width="318" caption="sumber: jabar.tribunnews.com"][/caption]

Hari masih pagi, belum jam enam, tapi Mak Juwarni sudah beranjak. Melangkah tergesa dari rumahnya di sebelah selokan, jauh di belakang kompleks perumahan megah pada sebuah kota pantai. Ia tertatih menyusuri jalan setapak. Bukan semata karena tubuhnya yang ringkih, tapi setapak berbatu yang selalu dilaluinya itu tidak rata. Nanitya, gadis kecil usia tujuh tahun itu selalu ikut sambil riang bermain. Dengan mudah ia ditempatkan di dalam gerobak ukuran satu setengah meter panjang, setengah meter lebar dan tujuh puluh sentimeter tinggi.

Di dalam gerobak masih ada beberapa lembar kardus dan rongsok, serta botol dan gelas plastik bekas. “Kemana kita hari ini, Mak? Aku mau sekolah!” rengek Nanitya yang disambut anggukan Mak Juwarni dengan wajah kuyu namun kelopak mata dilebarkan.

“Kita ke rumah makan Bahari dulu. Di sana pasti tersisa makanan untuk kita. Setelah itu baru ke sekolah!” jawab Mak Juwarni sambil terus mendorong gerobaknya melalui tepian jalan aspal yang becek dan berlubang-lubang besar.

Di ujung jalan, di pangkalan ojeg dan becak, Mak Juwarni mendekati Bardi, si tukang rente. Ia ada niat untuk utang lagi barang tiga ratus ribu. Belum juga dekat Bardi sudah menimpali. “Utangmu bulan lalu belum  lunas, nagihnya susah pula. Ini mau utang lagi!”  Bardi bersungut-sungut tak menanggapi bujukan Mak Juwarni.

Dengan senyum kecut Mak Juwarni berjalan ke gerobaknya, dan kembali mendorong piranti kerjanya itu ke arah sebuah warung Tegal dekat deretan kios-kios kelontong. Di dalam gerobak sesekali Nanitya berdiri dan melambaikan tangan pada anak-anak yang berjalan menuju ke sekolah. Mereka tiga atau empat tahun lebih tua darinya.

“Enak ya, Mak, sekolah pakai seragam, bawa tas ransel, dan pakai sepatu. . . .!” gumam Nanitya.

Mak Juwarni melihat ke arah anak-anak di seberang jalan sambil mengangguk-angguk.  Ia tidak tahu harus menjawab apa. Jalanan ramai, beberapa ruas jalan macet. Bising menulikan telinga, belum lagi pengap dan polusi oleh asap knalpot ribuan bebek, kuda, kijang, kodok,  bahkan yaguar, dan entah nama hewan apa lagi yang dipakai kendaraan bermesin itu. Sesekali teriakan dan makian, selebihnya pelototan mata dan ludah yang nyemprot, mewarnai pertarungan berebut jalan pagi itu!

*****

Parjo sigap menyiapkan dagangan, beberapa anak buahnya berbagi pekerjaan, ada yang masih memasak. Yang lain membersihkan meja dan bangku panjang, mencuci peralatan dapur, menyirami halaman yang berdebu, dan memanggang potongan daging ayam. Bau bumbu dan kulit daging ayam yang terbakar meruap di udara. Merangsang selera. Rumah makan khas Tegal itu memulai hari dengan semangat tinggi.

Sampai kemudian Mak Juwarni berada di depan pintu Warteg. Perempuan empat puluh tahun itu menurunkan tubuh Nanitya dengan susah payah, dan menyiapkan piring untuk disodorkan kepada si gemuk pendek Parjo.

Lelaki gendut itu nongol dengan senyum hambar. “Sebetulnya kamu bisa di sini saja mengerjakan apa saja pekerjaan rumah makan. Soal makan pasti terpenuhi, bulanannya dapat upah. Tidak besar, tapi cukuplah bila mau  hidup sederhana. Sudah berapa kali nasehat ini kusampaikan padamu. Tapi kamu lebih memilih hidup menggelandang. . . . .!”

“Anakku lapar, kami butuh makan, bukan nasehat seberapapun bagusnya! Aku perlu makanan sisa yang kau miliki. Kalau soal nasehat akupun bisa menasehatimu…..” jawab Mak Juwarni dengan suara melengking. “Kawinlah dengan si Munaroh, atau Rahajeng, mana yang membuatmu lebih enak. Bikinlah anak agar tumpukan uangmu yang kau simpan berguna untuk mereka. Atau mungkin kamu tidak tertarik pada perempuan?” suara Mak Juwarni terdengar mengejek.

Parjo melengos, memasang muka getir.

“Maksudku, kamu lebih tertarik pada duit saja tiap hari? Berapa keranjang uang yang sudah kamu kumpulkan, dan untuk apa?” Mak Juwarni menyambung.

Parjo tidak menanggapi, wajahnya kembali kecut. Lasmanti masih bersaudara jauh dengannya. Sama-sama dari pelosok Tegal sana, dekat pantai. Suami Mak Juwarni seorang perampok dan jadi buron entah sudah berapa tahun. Tapi perempuan semampai itu tidak bisa pergi dan mencari lelaki lain. Ia takut ancaman suami yang akan menghabisinya jika ketahuan dengan lelaki lain.

Parjo membuat dua bungkus nasi dengan sayur dan lauk ikan kembung dan tempe goreng. Meskipun Mak Juwarni cerewet dan mau menang sendiri, sesekali timbul rasa kasihan dalam hatinya.

“Terimakasih! Kalau kamu merasa aku terlalu jahat padamu, sesekali nasi bungkusku bisa kau taburi racun sehingga urusanku di dunia ini selesai. . . . .!” ucap Mak Juwarni enteng, saat menerima dua bungkus nasi.

Tidaksepatah katapun Parjo menjawab. Ia maklum kadangkala Lasmanti melempar ide gila. Karena kegilaannya pula yang menyebabkan ia lebih memilih sebagai pemulung dari pada menjadi isteri Parjo, menjadi pekerja rumah makan, atau pekerjaan lain yang memberi penghasilan lebih baik.

Lalu perempuan itu kembali mendorong gerobak kayunya meneruskan langkah. Kini Nanitya memilih berjalan di samping gerobak. Sekolah, tujuan mereka selanjutnya, tidak jauh dari sana.

Di sekolah beberapa orang ibu yang mengantar anak kelas satu atau dua sudah asyik ngerumpi. Mak Juwarni dan Nanitya ikut bergabung dengan mereka untuk sekedar numpang tempat duduk. Di situ ibu dan anak itu makan nasi bungkus pemberian Parjo.

“Enak, ya?“ tanya Bu Sahartin melihat kedua ibu dan anak itu makan begitu lahap, sambil membatin mungkin sejak semalam sudah kelaparan. “Tapi hati-hati lho, kemarin ada puluhan orang terjungkal sakit dan harus masuk ruang gawat darurat karena makan nasi bungkus pembagian orang. Mungkin ada yang sengaja menaruh racun di dalamnya untuk menyakiti orang lain!”

Seketika Lasmanti dan Nanitya menghentikan suapannya. Masih setengah bungkus sebenarnya.  Lasmanti ragu-ragu juga untuk meneruskan makan. Jangan-jangan benar Parjo telah membubuhi racun tikus seperti gurauannya tadi?

*****

Dulu,lebih dari dua puluh tahun lewat,Parjo memang naksir pada Lasmanti. Namun ketika ia tahu si bromocorah Sarkowi bin Sukriyo selalu datang dan membawa-bawa Lasmanti, Parjo menyurutkan niat. Entah bagaimana Lasmanti hamil besar saat akhirnya mereka menikah sepouluh tahun kemudian. Namun sebenarnyalah Parjo masih menaruh hati. Terbukti ia tidak segera kawin dengan wanita lain. Ia memilih tetap membujang meski usahanya berhasil dan umurnya makin tua. Ada sebenarnya beberapa perempuan yang siap  dinikahi. Ia tidak tertarik.

Menjelang mahrib seminggu kemudian dengan bersembunyi-sembunyi Parjo menyelinap ke gubuk Mak Juwarni. Ia menerobos masuk untuk memenuhi dendam lamanya. Melihat ada orang masuk rumah tanpa berucap sesuatu Mak Juwarni kaget dan berteriak. Namun sepasang telapak tangan kokoh lebih dahulu membungkam mulut itu.

Setelah tahu siapa yang datang, dan kekagetannya mereda, Parjo melepaskan kedua tangannya.

“Menikahlah dengan orang lain, siapa saja. Aku sudah terlalu tua untukmu. Belum lagi kalau Sarkowi bin Sukriyo pulang, kamu pasti mati ditangannya. Berapa kali kuulang kata-kata itu? Apa otakmu sudah betul-betul tumpul?” geram Mak Juwarni setengah berbisik. Tidak jauh dari situ Nanitya tergolek lelap kelelahan.

Parjo selalu tidak mampu berkata-kata di depan Mak Juwarni. Perempuan itu dulu betapa dipujanya, bukan saja karena cantik dan sikapnya yang lemah-lembut, tetapi karena terlanjur jatuh cinta entah oleh pesona apanya. Ya begitulah, tidak perlu alasan apapun untuk urusan jatuh cinta, cinta pertama, dan mungkin terakhir…

Petang merangkak menjadi malam, dengan gelap dan sunyinya. Hanya ada lampu pijar sepuluh watt di situ, dan semua serba suram. Tiba-tiba di depan pintu berdiri seorang lelaki kurus kering, lemah dan penyakitan. Namun di tangannya terhunus belati tajam. Parjo sekali lagi tidak mampu berkata-kata ketika belati itu begitu cepat menyambar batang leher. Parjo berkelit, tangannya dengan cepat membelokan arah belati di tangan si penyerang. Seketika darah muncrat. Ada pekik pendek. Sarkowi bin Sukriyo terhuyung, lalu tumbang oleh belatinya sendiri…

Parjo spontan berlari pontang-panting menjauh. Nanitya terbangun dan menjerit-jerit ketakutan.

Malam itu dengan terseok menyusuri jalan setapak, Mak Juwarni mendorong gerobaknya, diikuti Nanitya. Di dalam gerobak teronggok Sarkowi bin Sukriyo, pucat kaku, dengan darah masih menetes-netes di sepanjang jalan. Tersaruk-saruk Mak Juwarni mendorong gerobaknya, dengan air mata deras berlinangan, menuju ke kantor Polsek terdekat….! Setelah ini ia akan berpikir serius menerima ajakan Parjo, atau pergi jauh-jauh dari godaan lelaki itu. Namun ada pikiran lain: merayu dan membuat terlena sebelum menaruh bubuk racun di piring makan Parjo!

Cibaduyut, 20 Maret - 5 Desember 2014

----

Tulisan sebelumnya:

1.http://edukasi.kompasiana.com/2015/02/14/bakso-celeng-yang-bikin-heboh-kriminal-dan-haram-723363.html

2.http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2015/02/12/apa-yang-ingin-kita-buktikan-dengan-menulis-di-kompasiana-722916.html

3.http://fiksi.kompasiana.com/puisi/2015/02/07/angka-dan-kata-o-betapakah--721917.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun