Puisi Sugiyanta Pancasari
aku kembali terpuruk di sini, di satu Syawal dengan penuh rasa sesal dan gagal.
ada perih yang tertinggal, di saat Ramadhan pergi meniti jalan terjal, dan melepaskannya dengan napas yang tersengal.
takkan lagi kudengar, gema dan kumandang, lantunan ayat suci diqiraatkan, menyisir sepi dan dingin malam.
suara anak-anak mengaji, riuh yang terbunuh sepi, senja yang terkubur bilur, dan wajah bulan yang muram sendirian.
semua seakan terpaku di tempat sujudnya semula, meski shalat Id telah purna,
berkubang air mata, saat takmir membaca ikrar, tanpa sanak saudara berada di dekatnya.
dalam duduknya semua terbata mengeja kata maaf yang gagal diucapkannya, kecuali getar dibibirbya dan degup kencang dijantungnya.
dalam diam, jerit hatinya menggelora: biarpun tak ada jabat erat dan peluk hangat, kata maaf senantiasa bergumam, memenuhi relung hati terdalam.
sekuat-kuatnya covid memisahkan, kebersamaan takkan lepas dari genggaman
sejauh-jauhnya kerinduan mencampakkan, cinta yang akan kembali merekatkan
sesampai di rumah, setelah bertempur melawan kesendirian dan keterasingan
tikar tetap digelar, kaleng Khong Guan tetap dipersiapkan
mungkin malam nanti, saat pandemi tidur pulas, kau bisa memcuri-curi waktu untuk pulang sebentar, sekadar bermaaf-mafan,
memaknai hari kemenangan.
Jogja, 13 Mei 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H