Makan Sahur di Pos Ronda, Kebersamaan yang Teramat Aku Rindukan
Sugiyanta Pancasari
Malam kian larut. Tapi mata dan nyali tak boleh menciut. Juga melawan dingin yang serasa menusuk tulang. Waktu baru menunjuk pukul 02.25 dini hari tiba.
Kami berlima bersiap-siap, menenteng lampu senter, berselempang sarung dan memakai tutup kepala ala-ala ninja dan hanya menyisakan sepasang mata yang dapat terlihat. Tanpa cahaya lampu, dan sinar bulan kami mulai melangkah pelan dengan perasaan berani-berani takut, berjalan dengan tangan bersidekap di dada, sedikit menggigil oleh butiran-butiran embun yang mulai menitik, memecah sunyi di atas daun-daun.
Seluruh warga kampung sudah terlelap dibuai impian masing, setelah seharian membanting tulang di sawah-ladang atau buruh kuli bangunan.
Eiittt,.........tapi tunggu, jangan berprasangka dulu, kami bukan maling, atau generasi galau yang ingin menebar teror di pagi buta. Kami berlima tergabung dalam kelompok ronda, yang sedang mendapat giliran berjaga, sekali dalam seminggunya.
Di pos ronda di ujung kampung, kami berkumpul mulai jam 22.00 atau lebih, ngobrol-ngobrol ngalor ngidul tentang apa saja, mulai dari topik yang rumit sampai yang remeh-temeh, juga guyon-maton dan canda tawa tanpa arah sembari terdengar bunyi plak-plok suara tangan menepuk anggota badan yang sering jadi sasaran gigitan nyamuk.
Inilah kebersamaan yang murni dan membebaskan, tanpa kepentingan apapun kecuali bagaimana caranya agar ikatan solidaritas antar warga bisa terus terjaga dan terjalin dengan baik. Setelah tengah malam kami lanjutkan dengan berkeliling dan berpatroli seantero kampung, melewati gang-gang sempit dan gelap. Sorot lampu senter menjadi cahaya penentu arah langkah kami menyusuri jalan setapak yang kadang dipenuhi semak di kanan-kirinya, persis jalan tikus.
Tapi ternyata asik juga menjalaninya.
Selain memantau situasi dan kondisi keamanan dan ketertiban kampung, kami juga bertugas mengambil "jimpitan" beras rumah per rumah yang dipasang di tembok depan rumah. Disebut jimpitan karena beras yang disediakan setiap warga hanya beberapa bulir saja. Dalam waktu selapan (35 hari) seluruh beras yang terkumpul dilelang saat pertemuan kampung. Hasilnya bisa dialokasikan untuk kegiatan kampung berupa pembangunan fisik atau sosial demi meningkatkan kesejahteraan seluruh warga.