"Zaman Kaki Tak ber-Sepatu"
Oleh Sugiyanta Pancasari
Di awal era 70-an, saat rezim Orde Baru tengah menggaungkan pembangunan berkesinambungan Repelita, setelah cobaan dan ujian, haru biru politik saling meruntuhkan demi kepentingan pribadi dan golongan, komoditas sandang dan pangan menjadi barang mewah yang sulit dijangkau rakyat kebanyakan. Masih terngiang dalam ingatan, saat masuk sekolah dasar (SD) di tahun 71, saya hanya punya dua celana pendek (maaf: kolor) dan satu baju pantas, sedangkan yang lain adalah kaus oblong lusuh, penuh sobek-sobek dan berkelas "rombeng". Satu dipakai saat sekolah dan satu di rumah. Jangan tanya sepatu. Tidak ada satupun murid SD yang hersepatu saat itu, semua telanjang kaki alias "nyeker", persis lirik lagu Koes Plus yang begitu populer, "jamane aku, jaman sikil Ra sepatu//jamane Kowe jaman sikil Ra tau mlaku."
Lalu bagaimana dengan buku, wah.. ini lebih miris lagi, hanya satu buku skrip tipis sampul warna biru merek "gunung Kelud" atau "cobra" yang ditenteng bersama satu pensil dan penggaris kayu. Minimalis bukan? Pun jika perlu penghapus, itu sudah tersedia satu paket di ujung pensil.
Sepulang sekolah, langsung dilempar saja di atas amben bambu beralas tikar pandan bolong di sana-sini, sebab rumah-rumah saat itu sebagian besar memang bercorak Limasan tanpa ada satupun kamar tertutup.
Biasanya jam-jam saya pulang sekolah kurang lebih jam satu siang, rumah dalam keadaan kosong, sebab orang tua semua bekerja di sawah. Eittttss......tapi tunggu, jangan berasumsi kami punya sawah, kami hanya pekerja/buruh yang diupah.
Setiap pagi, sebelum berangkat ke sekolah saya mandi dengan mengguyur basah rambut tanpa shampo keramas, hingga setelah kering, rambut yang sedikit memerah oleh terik matahari itu tetap lepek dan bau. Tidak ada jadwal belajar, karena hampir seluruh waktu dalam hari-harinya adalah bermain. Di sawah, sungai,atau petualangan-petualangan kecil dengan teman sepantaran (seumuran) secara bebas dan riang.Alam dan lingkungan adalah rumah kami, tempat bermain dan belajar, dan menjadi "pembelajar" yang baik karena dari sanalah, pelan-pelan, saya menyerap pengetahuan: bagaimana sawah-sawah diberdayakan tanpa dieksploitas berlebihan, kebun-kebun dan pekarangan diolah dimanfaatkan sedemikian rupa untuk keberlangsungan hidup dan ketersediaan sumber pangan dengan ditanami uwi, gembili ganyong dan lain-lain sedangkan di pinggir ditanam aneka tanaman kelor, petai cina  sebagai pagar.
Dulu, saat jeda setelah dipanen, para petani rajin membawa sekeranjang kotoran ternak atau kompos dari bisikan sampah daun di pekarangan, dan meminimalisir penggunaan pupuk kimia, hingga produk yang dihasilkan benar-benar berkualitas "organik" tanpa ada residu kimia yang tersisa. Petani saat itu juga sangat rajin menanam "orok-orok" sebagai kompos dan kacang tholo, yang batang daunnya setelah panen dimanfaatkan sebagai kompos yang berfungsi menjaga ketersediaan unsur hara dalam tanah.
Tak ada istilah makan malam saat itu, sebab memang banyak rakyat dan kaum jelata yang hanya makan thiwul atau ubi rebus, atau jika ada beras biasanya di masak bubur sebagai siasat agar irit dan bertahan lama. Beruntung, saya masih bisa makan tiga kali sehari meski hanya nasi lembik (nasi dengan masak cara diberi air berlebih) dan sayur seadanya hasil memungut dan memetik dari sawah dan kebun.
Di atas meja besar dan kusam tanpa cat biasanya kami makan bersama seluruh keluarga, di bawah penerangan lampu minyak (keceran) yang tergantung di atap dengan cahaya tampak redup, temaram seperti sinar rembulan bulat penuh, saat anak-anak kampung berhamburan ke halaman-halaman luas menghadirkan suasana riuh dengan kegembiraan penuh. Petak umpet, gobak sodor adalah permainan favorit, dan bagi anak perempuan, Sundah Mandah dan jamuran adalah permainan yang tak boleh terlewatkan.Entahlah, di tengah zaman yang sulit, kadang lebih sering masa paceklik dan serba kekurangan, tetapi masa-masa kecil, yang jauh sudah kita tinggalkan, ternyata menjadi momen yang begitu indah, penuh nuansa kebersamaan, kekerabatan dan kebahagiaan yang tulus dan begitu kita rindukan dan kita angankan di saat-saat sekarang ini, yang semua perangkat justru telah tersedia lengkap, bahkan semua hal yang kita inginkan seolah berada dalam genggaman.
Masa-masa yang polos, beralas kejujuran, diikat kebersamaan, tolong-menolong, senasib sepenanggungan, bahu-membahu di setiap ada yang memerlukan bantuan/pertolongan dan tengah berada dalam kesusahan dan kesulitan, bukankah itu modal sosial yang begitu mahal, warisan kakek-nenek moyang kita dan sangat layak untuk kita pertahankan. Wajib kita lestarikan dan terus kita rawat kita pupuk agar tumbuh besar ditengah gempuran kemajuan zaman.
Mengapa kemajuan, teknologi, kecerdasan, dan kemampuan finansial, tidak serta Merta membawa masyarakat di era digital ini kepada peningkatan kepedulian yang hakiki dan justru meruncingkan paham identitas dan perbedaan. Mengapa peluang untuk berbagi, merajut rasa persatuan dan kesatuan dalam bingkai keindonesiaan, selalu membentur tembok kokoh sekat-sekat primordial, dan lebih membawa kita pada tumbuh suburnya sifat-sifat individual?