Mohon tunggu...
sugita
sugita Mohon Tunggu... Guru - Menulis merupakan bagian hidup

Menulis untuk bahagia

Selanjutnya

Tutup

Diary

Lika-liku Hidup (1)

20 Mei 2021   08:00 Diperbarui: 20 Mei 2021   08:54 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

                                                                      

Ketika masa kecilku sekitar tahun  tahun 1970 an , saat itu mungkin baru umur 5 tahunan kehidupan serba  susah kemana – mana jalan kaki tidak pakai alas kaki kecuali selesai mandi di sore hari . Tinggal di pedesaan memang nyaman tidak tahu perkembangan jaman ,setiap ada kendaraan lewat anak –anak kecil disuruh sembunyi ditakut –takuti oleh orang tuanya sendiri agar tidak mengejari truk dan ovelet yang lewat ,maklum anak –anak kecil  belum mengenal tata krama. Jika dipikirkan tujuan orang tua sesungguhnya benar agar tidak terjadi kecelakaan.

Seingatku mainan anak – anak  dibuat  sendiri tanpa campur tangan orangtua .Karena orang tua sibuk sendiri bekerja  pagi sampai sore hari tiada henti sebagai petani .Waktu itu pelepah pisang dibuat  untuk senapan senjata laras panjang ,sedangkan bedilan yang memiliki bunyi  dibuat dari bumbung bambu apus dan bambu  hijau yang dipotong diantara kedua ruasnya sehingga lubang atas bawah bisa diisi peluru dari kembang petai yang belum jadi buah (kenthos  bhs jawa ) dan di buatkan tusukan dari bambu tua. Jika mainan bedilan dimainkan   diisi dengan peluru dari calon buah petai ( kenthos ) dan ditusuk berbunyi “ Plog “ .

 Setiap hari dari pagi sampai sore itu saja yang dicari di kebun mbah Harjo dan kebun pak slamet . Suatu hari  aku , lik jono dan teman –teman mencari kenthos (kembang petai ) di kebun mbah Khasan kusen , baru saja mengambil  beberapa biji sudah diteriaki suruh pergi oleh mbah Khasan. “Jangan ambil kethos di kebun ku  nanti rusak semua buahnya , teriak  mbah khasan. Aku dan teman lari tugang langgang sembunyi di bawah pohon talas.

 Lain halnya jika musim gangsir tiba, tiap hari bawa cangkul kecil dan arit keliling di kebun –kebun tetangga , Lik jono dan aku  menggaruk guludan (pematang )  yang ada tanda lubang gangsirnya . Gangsir adalah hewan sebangsa dengan jakrik namun hidupnya di dalam tanah ,badanya lebih besar dibanding jangkrik namun suaranya berbeda . 

Kalau jangkrik bersuara terputus –putus  , Krik- krik ,krik- krik , sedangkan Gangsir suaranya bersambung krik krik krik  panjang. Biasanya gangsir mulai muncul ketika tanaman ketela pohon mulai menua. Setelah mendapat gangsir beberapa ekor dibawa ke rumah lik jono dan  minta tolong emaknya untuk digoreng kadang –kadang dibakar . 

Di waktu  lain Permainan berubah kadang –kadang ikut bertukang dengan kakek ( mbah) Harjo tukang mebel sebelah rumah juga masih adiknya mbahku , kuingat waktu itu ikut bertukang latihan mengetam tangan , baru dua kali dorong sudah berdarah yah, akhirnya menangis terus pulang kerumah mbah ,waktu itu masih tinggal serumah dengan embah.

Saat aku pindah rumah  tidak tinggal lagi sama mbah ( kakek Rakhimin ) temanpun berubah karena rumah yang baru jauh dari rumah embah walaupun masih dalam satu dusun  , cuma ujung kampung bagian utara dan  bagian selatan sebenarnya jaraknya sekitar 300 meter  untuk ukuran anak kecil sudah jauh.

Bergabung dengan teman –teman tetangga baru lama penyesuaianya mungkin hampir 3 bulan karena permainannya berbeda .Teman –teman tetangga baru kebiasaan mainnya sehari hari tari –tarian .

Dari membuat pakaian wayang orang mulai dari mahkota sampai badong/baju kebesaran raja  yang terbuat  daun Nangka. Tidak hanya membuat badong dan mahkota tetapi juga mempersiapkan panggung yang dibuat dari kain jarik diikat kiri kanan untuk pembatas ruang . Setiap pertunjukkan tarian ,kain ditarik seperti layar pertunjukkan kethoprak . Biasanya pertunjukan wayang orang dilakukan 4 sampai 5 anak, ceritanya sekitar astina dan amartha ,tentang pendawa dan kurawa .Maklumlah hampir semua penduduk satu dusun yang ku tinggali memiliki darah seni baik seni gamelan maupun wayang orang. 

Bahkan grop wayang orang sering  mengadakan  pertunjukkan ketika ada warga yang hajatan ,nikahan maupun sunathan.Apalagi peringatan hari Kemerkaan RI  sering menampilkan wayang orang di depan balai desa.Dari pagelaran –pagelaran wayang orang  itu anak –anak sekitar rumahku ikut meniru peran warang orang yang sering di pertunjukkan secara alamiah ikut melestarikan seni budaya. 

Sesuai kisah tersebut maka anak –anak generasi sekarang seyogyanya sesering mungkin menonton bahkan perlu berlatih tarian , gamelan maupun seni budaya lainnya agar tidak hilang di masa nanti agar lestari sepanjang jaman . Jangan sampai seni budaya kita dikembangkan oleh negara lain dan bangsa kita sudah lupa dengan budayanya.

  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun