Mohon tunggu...
Kang Sugita
Kang Sugita Mohon Tunggu... pegawai negeri -

seorang bapak guru di pelosok gunungkidul

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengenang Tradisi Lama (1) : Besik

20 Juni 2013   22:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:40 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sebagian besar masa kecilku saya jalani sebagai anak petani kecil di lereng bukit wilayah utara Gunungkidul yang berbatasan langsung dengan wilayah Kabupaten Klaten, hanya dipisahkan garis batas yang biasa disebut "anjir". Sebagian dari anjir berujud jalan selebar 4 sampai 5 meter, namun sebagian lagi hilang karena dijadikan sawah oleh para penggarap tanah kas desa milih pemerintah desa di wilayah Klaten.

Kehidupan beragama masyarakatnya mayoritas adalah abangan atau sebagian lagi penganut aliran kepercayaan. Meski berdasar data kependudukan beragama Islam, Kristen, atau Katholik, namun dalam prakteknya sangat sedikit yang menjalankan ibadah sesuai agama yang dianutnya. Mereka lebih terikat kepada tradisi-tradisi lama warisan nenek moyang; di antaranya "nyadran, rasulan, sedekahan, besik" dan masih beberapa lagi yang secara rutin sepanjang tahun dilaksanakan.

Sebagaimana yang dilaksanakan warga diberbagai daerah, pada bulan  Ruwah (sya'ban) warga masyarakat melakukan ziarah ke makam leluhurnya. Ritual tahunan ini biasa dilaksanakan pada tanggal 25 Ruwah menurut kalender Jawa  dinamai "BESIK". Diawali dengan "kenduri sedekah" sore/malam hari sebelumnya, esok harinya para warga berbondong-bondong mendatangi makam para leluhurnya. Dengan bekal bunga tiga macam (biasanya mawar merah, melati, dan kanthil), kemenyan (dupa), dan peralatan untuk membersihkan makam; masing-masing dengan keluarganya merawat dan berdo'a di makam leluhur masing-masing. Jika kebetulan makam leluhurnya terletak di satu lokasi pemakaman, maka ritual itu cepat berakhir. Namun bagi mereka yang makam leluhurnya tersebar di beberapa pemakaman; kadang kala waktu sehari tidak mencukupi, sehingga akan diteruskan di hari berikutnya.

Pada masa kecil saya dahulu, sebagai anak bungsu dalam keluarga, saya senantiasa diajak oleh bapak untuk menjalani ritual tahunan ini. Sehingga saya cukup hafal letak makam para leluhur keluarga yang tersebar di empat lokasi pemakaman yang jarakanya berjauhan. Dari satu lokasi pemakaman ke lokasi berikutnya, saya harus berlari-lari kecil untuk mengikuti langkah kaki bapak. Kami tidak mengendarai sepeda (apalagi motor), karena saat itu keluarga kami tidak memilikinya serta tidak bisa mengendarinya. Sehingga seluruh perjalanan senantiasa ditempuh dengan jalan kaki.

Besik, sebuah ritual tahunan masyarakat yang hingga kini masih dijalankan oleh sebagian besar warga terutama yang sudah tua. Di wilayah lain, mereka melakukan kerja bakti membersihkan areal pemakaman beberapa hari sebelum ritual besik berlangsung. Sehingga warga yang leluhurnya dimakamkan di lokasi tersebut ketika ziarah tinggal menaburkan bunga, membakar kemenyan dan berdo'a. Biasanya di pintu makam disediakan kotak amal yang hasilnya diberikan kepada juru kunci makam.

Sejak tahun 80-an, ketika saya usia SMA hingga saat ini, saya mulai jarang mengikuti kegiatan ini. Selain karena waktu yang berbarengan dengan kegiatan sekolah atau pekerjaan, saya berpikir untuk mendoa'akan para leluhur tidaklah harus mendatangi makamnya, serta tidak perlu menunggu bulan Ruwah. Setiap waktu dan setiap saat, kita bisa mendo'akan mereka. Karena do'a adalah permohonan kepada Allah SWT yang tidak dibatasi ruang dan waktu. Kalaupun saya mendatangi makam leluhur, adalah dalam rangka mengingatkan diri sendiri bahwa "kita pasti juga akan mati".

Bukan berarti saya menolak ritual tahunan bernama besik, namun karena beberapa keterbatasan menahan saya untuk melakukannya. Yang paling diuntungkan pada musim besik (ziarah) pada bulan ruwah semacam ini adalah pedagang bunga dan kemenyan. Dapat dipastikan pada saat-saat ritual tahunan besik Ruwah, harga bunga mawar, melati, dan kanta terbathil melonjak tajam. Sebab mayoritas warga pembeli bunga berpandangan bahwa ada pantangan dalam membeli bungga untuk besik; yaitu mereka tidak pernah menawar harga bunga. Berapapun harga yang disebutkan penjual pasti dibayar. Jika dananya terbatas, biasanya mereka langsung menyerahkan uang yang dibawa kepada penjual bunga, berapapun bunga yang diberikan penjual itulah yang diterima dan dibawa pulang. Jika bunga yang diperolehnya terlalu sedikit, maka mereka akan mencari daun bakung, diiris-iris melintang kecil-kecil seperti rambut.

Itulah salah satu tradisi lama pada bulan Ruwah yang hingga saat ini masih berlangsung. Bagi saudara yang tidak sepaham, tidak perlu mencaci atau mencela mereka. Sebab sesungguhnya Allah SWT tidak menyukai orang-orang yang suka mencaci dan mencela.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun