Beasiswa.......................... Ketika mendengar bahwa seorang anak sekolah memperoleh beasiswa, pada masa beberapa tahun silam, pastilah anak tersebut  siswa yang memiliki prestasi yang menonjol dibandingkan dengan siswa lainnya. Baik prestasi itu dalam bidang akademik, prestasi dalam olahraga, atau mungkin juga prestasi dalam bidang seni. Namun secara pasti jika seorang siswa memperoleh beasiswa, siswa tersebut adalah siswa berprestasi. Namun untuk saat ini, seorang siswa yang memiliki prestasi sangat menonjol dalam bidang apapun, belum tentu mendapat perhatian pemerintah dengan memberikan beasiswa kepadanya. Pada kenyataannya, saat ini pemerintah banyak sekali memberikan "sumbangan" kepada warga negaranya, yang kemudian disebut juga dengan kata "beasiswa", namun bukan ditujukan kepada para siswa yang memiliki prestasi. Pada kurun waktu ini, pemerintah lebih mempertimbangakan factor "miskin" atau "tidak mampu"  sebagai pertimbangan utama dalam memberikan beasiswa kepada warga negaranya. Kebijakan pemerintah tersebut memang dimaksudkan untuk mensukseskan program "Wajib Belajar Sembilan Tahun", sehingga setiap anak Indonesia wajib memperoleh pendidikan sampai setingkat  Sekolah Menengah Pertama. Guna mendukung program tersebut, maka pemerintah menggelontorkan dana besar untuk "beasiswa" bagi mereka yang termasuk dalam kategori "miskin" atau "tidak mampu". Pemerintah tidak mempertimbangkan apakah siswa "miskin" atau siswa "tidak mampu" itu memiliki prestasi atau tidak. Apakah mereka cerdas atau bodoh, apakah mereka anak yang memiliki semangat belajar atau mereka yang sangat malas. Apapun keadaannya, jika siswa itu dapat menunjukkan keterangan yang menyatakan bahwa dia "miskin" atau "tidak mampu", maka siswa tersebut berhak atas beasiswa. Walaupun kadang-kadang siswa yang memperoleh "beasiswa" tersebut amat sering membolos dan amat sering berbuat onar baik di ligkugan sekolah dia belajar, atau di lingkungan dia bertempat tinggal. Bahka juga sering terjadi setelah mencairkan bantuan yang disebut "beasiswa" tersebut, bukan digunakan untuk mencukupi keperluan sekolah, namun digunakannya untuk foya-foya, dibelanjakan untk minuman keras atau narkotika. Dan sebagian orang tua siswa yang mencairkan beasiswa menghabiskannya dalam lingkaran meja judi. Lalu bagaimana dengan anak berprestasi yang tidak termasuk sebagai katgori "miskin" atau "tidak mampu"?  Anak-anak berprestasi yang tidak dapat menunjukkan keterangan tidak mampu, sama sekali tidak mendapat perhatian dari program beasiswa yang digelontorkan pemerintah. Termasuk dalam hal ini adalah mereka yang orangtuanya Pegawai Negeri Sipil, meskipun dengan pangkat dan golongan terrendah, anak-anak mereka yang berprestasi dalam bidang apapun, tidak berhak memperoleh bagian dari kue "beasiswa". Dengan segala keterbatasannya, para pegawai emerintah dari golongan rendah, harus membiayai sendiri keperluan pendidikan anak-anaknya. Kecerdasan otak anak-anak mereka tidak mengetuk perhatian pemerintah. Mereka yang kembali dari suatu olimpiade berbagai bidang dengan membawa sejumlah medali emas sekalipun, hanya mendapat sambutan ketika kedatagannya saja, dan setelah itu mereka dibiarkan mengurusi nasibnya sendiri tanpa campur  tangan pemerintah. Bahkan sering terjadi untuk membiayai keberangkatan mereka ke ajang olimpiade itu harus menguras tabungan mereka sendiri. Pihak sekolah sering harus meminta sumbangan kepada para wali murid untuk membiayai para guru pembimbingnya. Apa yang terjadi kemudian? Jika kita mau mencermati, kurangnya perhatian pemerintah kepada mereka yang berprestasi telah menurunkan semangat anak untuk meraih prestasi yang lebih baik. Semangat untuk berkompetisi dalam rangka meraih suatu prestasi semakin memudar. Yang tumbuh semakin subur adalah pertumbuhan kelompok-kelompok yang lebih mementingkan kebanggan kepada kelompok, sekamin banyaknya genk-genk pelajar yang cenderung bersifat negative. Anak yang semula memiliki prestasi lumayan menonjol, amun karena melihat kawannya yang sagat pemalas dan pembuat onar memperoleh "beasiswa", sementara dia sendiri tidak mendapatkan aa-apa, kemudian mulai kehilangan semangat untuk memacu prestasi lebih baik. Tidak jarang kemudian justru terseret pengaruh negative dari genk pelajar di sekitarnya. Melihat kenyataan ini, banyak guru yang terpaksa hanya dapat mengelus dada. Merasa iba terhadap anak-anak berprestasi yang tidak memperoleh perhatian yang diperlukan, sementara di pihak lain melihat anak-anak yang pemalas dan bodoh menerima kucuran "beasiswa". Para guru hanya dapat menaruh iba, sebab mereka sendiri masih berkutat dengan kesulitan memenuhi biaya pendidikan putra-putri mereka sendiri. Jadi................ Haruskah anak-anak yang berprestasi ini tetap dibiarkan tanpa perhatian dari pemerintah?? Sugguh saya tidak tahu harus mengadukan nasib mereka ke mana? Saya hanya dapat menaruh iba ketika melihat anak-anak yang cerdas terpaksa putus sekolah, karena beasiswa pemerintah tidak diperuntukkan bagi anak yang cerdas, namun diperuntukkan kepada anak-anak yang "tidak mampu", meskipun anak itu pemalas dan bodoh. Ada baiknya jika pemerintah mempertimbangkan bahwa siswa yang diberi beasiswa, selain dia tidak mampu, namun dia juga harus berprestasi, sehingga dengan demikian akan memacu anak untuk berkompetisi dan berusa keras mencapai prestasi yang bagus supaya mendapat kemudahan berupa beasiswa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H