Minggu jini, 22 April 2012, sekitar pukul 10.30, setelah bersilayurahmi ke tempat salah satu kawan di Sorogedug Lor, Madurejo, Prambanan, saya menyempatkan diri untuk melihat salah satu peninggalan sejarah, warisan budaya dunia, Candi Banyunibo. [caption id="attachment_176272" align="alignnone" width="510" caption="di halaman candi, panas"][/caption] Terletak di tengah persawahan (saat ini berupa kebun tebu) di tepi saluran air (sungai kecil) di sebelah selatan Dusun Cepit, Bokoharjo, Prambanan; candi yang menyendiri terpisah dari kelompok candi yang lebih besar, secara geografis lokasinya cukup mudah dijangkau dengan kendaraan vermesin maupun tanpa mesin. Hanya saja jalan yang semula sudah beraspal, saat ini kondisinya rusakcukup parah. Apalagi 50 meter terakhir, jalan ditepi sungao kecil ini sudah tidak nampak lagi sebagai jalan beraspal, karena telah ditumbuhi rumput, dan terkesan sebagai jalan buntu yang tak pernah dilalui. Tiba di lokasi candi, hanya ada seorang petugas satpam yang sekaligus menarik retribusi kepada pengunjung yang datang, setelah membayar tiket yang sangat murah, Rp 5000, untuk dua orang dewasa dan satu anak (tiket dewasa Rp 2000, dan anak-anak Rp. 1000), saya naik ke candi untuk melihat dan mengagumi peninggalan sejarah ini. [caption id="attachment_176279" align="alignnone" width="525" caption="Candi Banyunibo"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H