Mohon tunggu...
Kang Sugita
Kang Sugita Mohon Tunggu... pegawai negeri -

seorang bapak guru di pelosok gunungkidul

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Suatu Siang...

20 Januari 2012   02:26 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:40 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini sebuah kejadian nyata, hari Kamis tanggal 19 Januari 2001, mulai jam 10 pagi diadakan acara Sosialisasi Penilaian Kinerja Guru, dan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKG dan PKB) yang dikuti sejumlah guru dari dua SMP Negeri di wilayah Gunungkidul. Setelah acara seremoni, kemudian seorang pejabat dari Dinas Pendidikan Kabupaten Gunungkidul memberikan uraiannya dengan panjang lebar. Para guru antusias mengikuti acar in, apalagi ketika mengetahui pandangan bapak pejabat tersebut yang mengingatkan para Kepala Sekolah untuk tidak terus-menerus membicarakan sanksi yang akan diterima jika tidak memenuhi tuntutan ideal dari suatu peraturan (maklum, di sekolah ku setiap kali berbicara, Kepala Sekolah hanya bicara mengenai kewajiban dan sanksinya jika tidak dipenuhi).

Hingga tiba waktunya jam 11.50,  menurut hisab adalah waktunya untuk sholat dhuhur. Bapak pejabat telah selesai membeberkan apa yang harus disampaikan, namun pembawa acara justru mempersilakan peserta untuk berdialog. Secara spontan saya menyela dengan suara lumayan keras ..........."waktunya dhuhur!!!". Si pembawa acara yang kebetulan teman kerja saya dan guru agama menoleh dan berbicara dengan isyarat "mengko dhisik".  Sayapun kembali berteriak, "mendhingan ora munggah pangkat  tnimbang ora sholat", dan kemudian saya keluar ruangan diikuti dua orang teman.

Salah satu teman kemudian menunju tempat wudhu sesuai yang ditunjukkan tuan rumah. Saya dan satu teman menuju parkiran, mengambil motor dan meninggalkan lokasi untuk mencari masjid terdekat. Tiba di sebuah masjid yang lumayan besar, yang menyatu dengan sebuah TK atau PAUD. Seorang bapak yang kebetulan berada di depan masjid mengatakan bahwa masjid tidak terurus. Ini dapat kita rasakan, bahwa di mesjid yang lumayan bagus dengan fasilitasnya yang lumayan lengkap sama sekali tidak ada kehidupan. Tidak dikumandangkan adzan pada saat dhuhur, serta tidak adanya jama'ah yang datang untuk menunaikan ibadah di mesjid ini. Ketika kami berdua sholat, hanya seorang ibu yang kebetulan tinggal di sebelah masjid yang ikut berjama'ah, padahal jelas waktu itu belum lewat jam 12.00, yang berarti memang baru masuk waktu dhuhur. Sementara si bapak yang kami temui di halaman masjid, ternyata juga tidak menjalankan sholat di masjid tersebut.

Saya jadi teringat salahsatu tulisan saya beberapa waktu yang lalu di Kompasiana ini juga, dengan judul "Masjid, antara Membangun, Merawat, dan Memakmurkan". Bahwa semangat untuk membangun tempat ibadah berupa masjid atau  ushala, atau surau, atau langgar, sangat menggebu. Ketika baru memendirikan bangunannya, semua orang bersemangat untuk membantu, namun ketika bangunan masjid, mushala, surau atau langgar itu telah berdiri tegak dengan kokohnya, mereka semua pergi. Mesjid menjadi sepi, mirip sebauah museum tua. Mesjid tinggalah sebagai monumen.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun