Mohon tunggu...
mas sugih
mas sugih Mohon Tunggu... -

sederhana tapi kaya raya

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

OO Kudanya Papa ( Balada Susu Sapi)

24 April 2013   00:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:43 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Ada yang pernah liat iklan dengan tagline ini???

Mak jleb rasanya, papa  di anggap kuda...??? kalau dilihat dari sudut sinis memang maaf iklan ini agak kurang ajar,  meskipun fenomena anak naik punggung ayahnya dan bermain kuda-kudaan adalah hal yang biasa..tapi komentar si Ibu yang menegaskan kembali bahwa si Papa jadi kuda adalah 'bagian dari kekurang ajaran iklan itu sendiri

Lalu apa kaitanya anak cerdas dengan papa menjadi kuda?  Jika di simak dari runtutan iklan tersebut terlihat bahwa anak tersebut cerdas karena bisa mengidentifikasi pernyataan sang ibu dan  dengan cepat merespon  melalui tindakan "naik kuda" meskipun kudanya adalah papa.nya sendiri. Orang mungkin akan bangga bila anak cepat merespon suatu ungkapan atau kejadian tertentu, yang menunjukan bahwa anak tersebut mungkin memiliki kemampuan yang sering disebut cerdas atau  intelek. Dan sekali lagi mungkin, inilah yang jadi sasaran tembak penjual susu sapi, bahwa dengan minum susu sapi anak menjadi cerdas.

Kembali membahas kekurangajaran iklan tadi( saya memakai kata-kata kurangajar karena konon, kata ini merupakan makian yang halus, daripada kata-kata bodoh: kurang ajar=kurang di beri pelajaran= sehingga bodoh).  Bahwa kemudian sang Ibu mendokumentasikan kelakuan anaknya yang selanjutnya  secara narsis memamerkan kepada ibu-ibu yang lain. Lengkap sudah cerita susu sapi mengenai kebanggaaan dan membanggakan buah hati, sebagai cerita harian publik masakini.

Lalu apa masalahnya iklan ini buat Gue??(saya mengandai-andai, bila pengiklan menanyakan sewot kepada saya:masalah buat loe:)??). Ya emang ada sedikit masalah buat gue..hehe. Begini ceritanya, suatu saat saya bertemu generasi yang seumuran kakek saya (umur 60 an) begitu prihatin dan mengeluh, Orang dulu bisa beranak pinak sampai dengan 9 bahkan belasan. Tapi bisa hidup semua dan sekarang eksis. tapi kini baru punya anak satu saja sudah merepotkan keluarga, secara umumnya didesa meski sang ibu tidak sibuk sangat, sang cucu menjadi 'ingon-ingon" (peliharaan) kakek-neneknya.  Apalagi di kota dengan ibu yang bekerja, mungkin hanya bertahan tiga bulan dia bisa bersama dengan anaknya, karena jatah cuti dari perusahaan mungkin rata-rata segitu. Dan selanjutnya anak menjadi asuhan ibu mertua, atau nenek, atau bahkan kalau sedikit ada harta menjadi momongan bagi baby sitter, sukur sukur dititipin ke TPA (bukan Tempat Pembuangan Anak, tetapi Tempat penitipan Bayi, layanan pendidikan baru yang menggiurkan). Begitulah sang kakek bercerita. Saya menjadi bingung dan meniru jargon iklan juga . Tanya Kenapa???. Sebelum saya bisa menjawab pertanyaan itu, kakek tadi melanjutkan ceritanya, bahwa memang anak-sekarang gizi tercukupi, semenjak nyusu sama sapi, tapi lihatlah, tingkah laku mereka seperti sapi, pertumbuhan badan memang bagus tapi akhlaknya...masya alloh..susah diatur, tidak seperti anak jaman dulu. Saya tercenung mendengar pernyataan sang kakek, betulkah semua yang di nyatakanya, apa benar konsumsi susu sapi berbanding lurus dengan kelakuan anak , sehingga mirip sapi?? (dalam hal pertumbuhannya) wow, tentu saja akan menjadi penelitian menarik kalau ada yang mau meneliti.

Dan Kegalauan saya berlanjut, mengingat iklan di televisi tadi, saya jadi berpikir, kenapa kulitas generasi kita menurun dari segi moral di banding generasi sebelumnya. Sederhana saja, kini kita sudah disuguhi drama-sehari-hari mengenai gaya pacaran anak muda dari sd- hingga SMA, apakah generasi tahun 70 akhir, mengalami hal yang sama?? Beda Jauh sekali,.  apakah ini karena susu sapi?? oh tentu tidak serta merta menyalahkan sususapi.  saya yakin yang salah adalah orang tua si anak yang ngasih sususapi.

Bayangkan Ibu-ibu dulu yang punya anak lebih dari 7, saya yakin sang ibu dengan telaten menyusui anaknya, meski tidak sampai 2 tahun, karena biasanya belum sampai 2 tahun udah Isi ulang lagi. Juga karena mereka belum mampu beli susu, dan memang pabriknya belum berjualan disini. Menyusui mungkin menjadikan anak merasa di Ibui, sehingga pancaran kasih sayang , menghargai orang dan sebagainya membekas dalam jiwa si anak. Sampai dia dewasa. Beda dengan susu sapi, yang harus dibikin cepat-cepat, meski kadang memakai air panas, dan diminumkan agar anak tidak rewel. Ketemulah anak dengan dot, dan gen-gen dari sapi merasuk , semasa ia kecil dan membekas hingga umur belasan.  kenapa belasan? karena sapi adalah hewan yang begitu lahir bisa berdiri dan lebih cepat mendekati masa kawin, sehingga anak-anak sekarang lebih cepat dewasa, di banding generasi sebelumnya. Apakah ini ilmiah??? ini Opini saja, anggap saja hipotesis meneruskan hipotesa dari sang kakek tadi. Dan tidak usah menyalahkan teknologi yang menjadi penyebab buruknya moral, teknologi hanya katalisator perusakan moral, itupun tergantung pemanfaatnya, tergantung regulatornya dan tergantung pada canthelan.  Akhirnya  saya cuma berharap dari sekedar ulasan iklan ada hal terbaik yang bisa kita lakukan, seperti merenungi nasib generasi kita dengan mendidik anak kita sebaik-baiknya, mulai dari cara membikinya, sampai dengan perawatanya. Banyak rujukan yang bisa kita dapatkan, baik dari orang-orang pintar maupun dari pemuka-pemuka agama yang lurus jalanya. Bukan Eyang Subur, yang mungkin dulu gak minum susu sapi.Nah lo...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun