Mohon tunggu...
sugimin w
sugimin w Mohon Tunggu... -

学生 @ National Institute for Policy Studies (GRIPS), Tokyo, Japan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mudik, Percaloan, dan Ketidakmampuan Kereta Api Indonesia: Belajar dari Pengalaman Reformasi Kereta di Jepang

13 Agustus 2010   10:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:04 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak perlu disangsikan lagi, dari tahun ke tahun masyarakat lebih menyukai sarana transportasi kereta api dibanding angkutan darat lainnya terutama di pulau Jawa. Untuk mudik lebaran tahun ini, tiket kereta api kelas bisnis dan eksekutif tujuan Jawa Tengah dan Jawa Timur pada H-3 lebaran (7 september 2010) ludes terjual di stasiun Gambir, Jakarta hanya dalam hitungan menit. Untuk ratusan ribu pemudik lainnya akan naik kereta api kelas ekonomi, tak peduli harus berdesak-desakan, berdiri sepanjang perjalanan bahkan WC kereta dipenuhi pemudik. Ini fakta, saya sendiri pernah mudik dengan kereta api ekonomi. Sungguh Ironis, fakta kecintaan masyarakat yang tinggi terhadap kereta api sayangnya tidak diimbangi dengan sarana prasarana kereta api yang memadai.

Setiap musim mudik tiba, masyarakat mengeluh tiket cepat habis terjual karena sebagian dibeli oleh calo. Padahal pemudik sudah antri berjam-jam dan nekad berjubel hanya untuk mendapatkan satu dua tiket. UU No. 23 tahun 2007 tentang perkeretaapian sangat jelas melarang perbuatan percaloan tiket. Sanksi dalam UU tersebut terhadap calo tiket bisa dipidana selama 6 bulan. Selama belum adanya tindakan tegas dan sanksi pidana yang maksimal, praktek percaloan akan selalu ada.

Ketidakmampuan dalam melayani transportasi masal, perlunya PT. KAI berbenah diri dalam meningkatan kualitas pelayanan. PT KAI perlu belajar dari pengalaman kemajuan pelayanan kereta di Jepang. Japanese National Railway (JNR), Perusahaan kereta milik pemerintah Jepang, mengalami kerugian operational pertama kalinya tahun 1964. Tahun 1987 hutang JNR mencapai ¥ 37 trillion. Selain itu, terjadi konflik antara management dengan persatuan buruh kereta telah menurunkan produktivitas dan kualitan pelayanan kereta (Mizutani and Nakamura, 2004). Sejak saat itulah, JNR, perusahaan kereta milik pemerintah Jepang menyadari tidak mampu melayani transportasi publik dengan baik terhadap rakyatnya. Langkah konkrit untuk meningkatkan kualitas pelayanan kereta, pemerintah Jepang mengeluarkan kebijakan reformasi railway yaitu dengan memecah (split up) dan memprivatisasi JNR menjadi enam perusahaan kereta penumpang dan satu kereta barang. Pemecahan (split up) JNR berdasarkan pertimbangan kedaerahan dalam rangka mengakomodasi penduduk daerah tersebut.

Tak perlu diragukan lagi, kereta di Jepang menjadi transportasi masal yang sangat membanggakan. Shinkansen, kereta peluru super cepat untuk jarak jauh, menjadi simbol Jepang sebagai negara modern dan maju. Tradisi mudik menggunakan Shinkansen di Jepang yang terjadi ketika liburan panjang sangat nyaman, cepat dan aman. Pemudik di Jepang tidak akan kehabisan tiket dan tidak perlu mengantri berjam-jam di depan loket serta tidak ada percaloan tiket, karena frekuensi Shinkansen yang sering.

Belajar dari JNR di Jepang, PT. KAI perlu mereformasi perkeretaapian. Menurut hemat saya, untuk langkah awal, di Jawa perlu dilakukan pemecahan (spliting up) dan privatisasi (privatization) PT. KAI menjadi empat perusahaan penumpang, masing-masing PT.KAI Jakarta, PT. KAI Jawa Barat, PT. KAI Jawa Tengah, PT. KAI Jawa Timur dan satu PT.KAI Barang. Pemecahan (split up) PT.KAI menjadi empat peruhaan untuk mengakomodasi daerahnya sejalan dengan otonomi daerah. Privatisasi PT KAI dilakukan untuk mendapatkan modal yang cukup untuk membangun tambahan infrastruktur rel, stasiun dan jumlah kereta. Pembangunan infrastuktur rel cukup dibangun diatas rel yang ada seperti konsep jalan layang, sehingga tidak perlu ada penggusuran tanah yang bisa ditentang masyarakat. Dengan adanya penambahan rel, stasiun dan jumlah kereta diharapkan dapat mengakomodasi masyarakat yang menggunakan jasa kereta api.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun