Untuk mengatasi berbagai permasalahan dan mengambil hikmahnya, pendidikan memiliki peranan yang sangat penting. Pendidik berfungsi sebagai pusat dari upaya manusia untuk menjadi individu yang berkualitas dan berintegritas. Dengan demikian, pendidikan menjadi jalur yang harus dilalui oleh setiap orang untuk mencapai tujuannya, melalui proses pembelajaran yang mencakup berbagai metode pelatihan dan pengajaran.
Perubahan yang terjadi seiring waktu telah membawa banyak dampak dalam kehidupan manusia, salah satunya di sektor pendidikan. Filsafat pragmatisme yang muncul di Amerika Serikat pada akhir abad ke-19 menekankan betapa pentingnya pengalaman praktis dalam menumbuhkan pengetahuan dan arti. Para tokoh seperti Charles Sanders Peirce, William James, dan John Dewey adalah pelopor penting dalam aliran ini. Pragmatisme berpendapat bahwa kebenaran bukanlah sesuatu yang tetap dan absolut, tetapi merupakan sesuatu yang bisa diuji dan dipahami melalui tindakan serta hasil yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari. Menggabungkan filsafat pragmatisme dalam kurikulum sejarah bisa menjadi langkah yang cerdas untuk mengaitkan pengetahuan sejarah dengan pengalaman nyata siswa, sehingga menghasilkan pemahaman yang lebih relevan dan aplikatif tentang peristiwa sejarah.
Filsafat Pragmatisme dan Sejarah, pragmatisme menolak keyakinan bahwa pengetahuan sejarah hanya sebatas pemahaman objektif dan ketat mengenai masa lalu. Sebaliknya, pandangan ini memaknai sejarah sebagai sesuatu yang aktif dan terus berhubungan dengan kehidupan manusia saat ini. Sejarah tidak hanya menjadi kajian mengenai peristiwa yang telah berlalu, tetapi juga berfungsi sebagai sarana untuk mengatasi masalah dan tantangan yang ada di kehidupan modern. Dari sudut pandang realis, tujuan utama dari pendidikan sejarah adalah menyiapkan siswa untuk menghadapi masa depan dengan lebih bijak dan efektif, dengan menjadikan pelajaran dari peristiwa lampau sebagai acuan dalam pengambilan keputusan saat ini. John Dewey, sebagai salah satu tokoh penting dalam pragmatisme, menyoroti betapa pentingnya pengalaman dalam proses pembelajaran. Dewey berpendapat bahwa pendidikan seharusnya fokus pada pengembangan keterampilan berpikir kritis serta pemecahan masalah yang bersifat praktis dan kontekstual. Dalam konteks pembelajaran sejarah, ini berarti siswa tidak hanya mempelajari fakta-fakta sejarah secara terpisah, tetapi juga dilatih untuk memahami hubungan antara peristiwa sejarah dan kondisi sosial, politik, serta budaya yang berlaku saat ini. Siswa akan dilibatkan dalam diskusi dan refleksi mengenai bagaimana peristiwa sejarah mempengaruhi kehidupan mereka saat ini dan bagaimana pelajaran dari masa lalu dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh masyarakat saat ini.
Mengaitkan sejarah dengan kehidupan sehari-hari. Salah satu prinsip utama dari pragmatisme adalah penekanan pada kegunaan praktis pengetahuan. Dalam konteks kurikulum sejarah, ini berarti bahwa pembelajaran sejarah harus disambungkan dengan pengalaman sehari-hari siswa. Siswa harus menyadari bagaimana peristiwa sejarah mempengaruhi keadaan sosial, ekonomi, dan politik saat ini. Misalnya, pembelajaran mengenai Revolusi Industri Inggris atau perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak seharusnya dipandang sebagai kejadian yang terpisah, melainkan dihubungkan dengan efek jangka panjangnya terhadap masyarakat dan pertumbuhan ekonomi global. Dalam kurikulum sejarah yang menerapkan prinsip pragmatis, siswa didorong untuk menganalisis peristiwa sejarah dalam konteks yang relevan dengan tantangan yang dihadapi dunia sekarang. Sebagai contoh, membandingkan Perang Dunia dan konflik-konflik modern dapat memberikan wawasan yang lebih dalam tentang pengaruh konflik terhadap pembangunan sosial dan ekonomi. Melalui pendekatan ini, siswa tidak hanya belajar mengingat fakta sejarah, tetapi juga mengasah kemampuan kritis untuk menganalisis kejadian sejarah dan menemukan makna yang berguna bagi masalah-masalah kontemporer.
Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem-Based Learning). Pendekatan PBL adalah metode yang ampuh untuk mengintegrasikan pragmatisme ke dalam pelajaran sejarah. PBL fokus pada pembelajaran melalui penyelesaian masalah nyata, yang sejalan dengan prinsip pragmatisme, mendorong siswa untuk mendapatkan pengetahuan dari pengalaman sehari-hari. Dalam model ini, siswa menghadapi tantangan yang berkaitan dengan situasi sejarah yang harus mereka selesaikan melalui penelitian, diskusi, dan pemikiran mendalam. Sebagai contoh, seorang guru sejarah dapat mengajukan pertanyaan seperti, "Apa dampak Perang Dunia II terhadap perekonomian global dan hubungan antarnegara?" Pertanyaan ini tidak hanya mendorong siswa untuk memahami kejadian sejarah, tetapi juga untuk menganalisis bagaimana pengaruhnya masih terasa di dunia sekarang. Dengan pendekatan ini, sejarah menjadi lebih dari sekadar disiplin ilmu, tetapi juga sebagai cara untuk mempelajari isu-isu yang dihadapi oleh masyarakat saat ini.
Mengembangkan pemikiran kritis dan kemampuan refleksi. Pragmatisme turut menekankan pentingnya penguasaan keterampilan berpikir kritis, yang sangat dibutuhkan dalam studi sejarah. Dari perspektif pragmatis, sejarah tidak hanya dianggap sebagai ingatan kolektif yang harus diterima tanpa pertanyaan, tetapi sebagai suatu bidang yang perlu dianalisis dan ditanyakan secara mendalam. Melalui pendekatan pragmatis dalam pembelajaran sejarah, siswa diajarkan untuk tidak hanya memahami peristiwa yang terjadi di masa lampau, tetapi juga untuk mempertanyakan motif dan dampak dari peristiwa tersebut. Pendidikan sejarah dengan pendekatan pragmatis meminta siswa untuk tidak sekadar menerima narasi sejarah yang disampaikan melalui buku dan pengajaran guru, tetapi juga untuk menganalisis dan merenungkan narasi tersebut. Siswa diharapkan dapat melihat sejarah dari berbagai perspektif dan memahami bagaimana suatu peristiwa diinterpretasikan secara berbeda oleh individu dan kelompok yang berbeda. Dengan demikian, pembelajaran sejarah yang mengadopsi pragmatisme tidak hanya berfokus pada fakta sejarah, tetapi juga mendorong siswa untuk berpikir lebih kritis tentang proses penulisan sejarah dan siapa yang memiliki kekuasaan dalam menuliskannya.
Relevansi dalam konteks sosial dan politik. Pragmatisme mendorong pendidikan yang langsung berkaitan dengan kebutuhan dan tantangan yang dihadapi masyarakat. Dalam kerangka sejarah, ini berarti bahwa kurikulum seharusnya selalu berhubungan dengan keadaan sosial, politik, serta ekonomi yang ada saat ini. Contohnya, saat mengajarkan tentang kolonialisme dan perang, siswa perlu diajak untuk memahami hubungan dengan masalah-masalah berkenaan dengan kekuasaan, imperialisme, dan ketidakadilan yang masih berlangsung sekarang. Pengajaran sejarah yang menggunakan pendekatan pragmatis harus mendorong siswa untuk berpikir tentang bagaimana kejadian-kejadian di masa lalu telah membentuk struktur sosial dan politik yang ada saat ini di dunia. Sebagai contoh, mempelajari gerakan hak-hak sipil di Amerika Serikat dapat dihubungkan dengan gerakan sosial dan politik yang berjuang untuk hak-hak minoritas di berbagai belahan dunia sekarang. Dengan demikian, sejarah tidak hanya berfungsi sebagai pelajaran tentang masa lalu, tetapi juga menjadi alat untuk memahami dan menangani isu-isu sosial yang ada saat ini.
Mengintegrasikan filosofi pragmatisme ke dalam pelajaran sejarah menciptakan cara belajar yang lebih hidup dan sesuai. Dengan memberikan penekanan pada nilai pengalaman, kemampuan berpikir kritis, dan pemahaman praktis mengenai peristiwa bersejarah, pragmatisme menunjukkan bahwa sejarah bisa berfungsi sebagai sarana untuk menyelesaikan masalah saat ini dan dapat memperkaya kehidupan sehari-hari para siswa. Kurikulum sejarah yang didasarkan pada pragmatisme tidak hanya memfokuskan pada masa lalu, tetapi juga mempersiapkan siswa untuk menghadapi tantangan di masa mendatang dengan cara yang lebih cerdas dan terarah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H