Mohon tunggu...
Teha Sugiyo
Teha Sugiyo Mohon Tunggu... Guru - mea culpa, mea maxima culpa

guru dan pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Secuil Kenangan Setelah Kompasianival Usai

12 Oktober 2016   00:35 Diperbarui: 12 Oktober 2016   00:51 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gelaran Kompasiana Festival (Kompasianival) 2016 telah rampung. Panitia yang mempersiapkan segala sesuatunya merasa plong, karena acara sudah berlangsung dengan sukses. Peserta yang datang dari berbagai penjuru juga sudah mendapatkan aneka pengalaman dan kesan selama mengikuti perhelatan akbar setahun sekali itu.

Ada banyak pengalaman dan kenangan selama pertemuan. Pengalaman-pengalaman indah, cantik, menarik, menyenangkan, mengesan, tertoreh dalam-dalam pada hati sanubari dan ingin kita simpan sebagai memori abadi. Ada juga pengalaman tak menyenangkan, kekurangan-kekurangan, kekecewaan dan rasa tak puas. Semua pengalaman tak menyenangkan itu  sebaiknya  setelah kita pandangi, kita rasakan, kita hayati, kemudian kita ikhlaskan untuk pergi dan kita tutup pintu agar tak kembali.

Kita punya peluang untuk memilah-milah dan memilih-milih mana yang pantas kita kenang, mana yang harus kita buang. Pengalaman-pengalaman positif yang penuh optimisme, antusiasme dan menyenangkan kita jadikan hikmah penuntun hidup dan kehidupan kita pada masa mendatang. Pengalaman-pengalaman negatif, yang penuh pesimisme, dan merusak, kita bungkus jadi satu lalu kita ikat dan selanjutnya kita buang dan kita hapuskan dari arsip memori. Dengan demikian hidup menjadi lebih indah, sehat, kuat dan mantap.

***

Sekelompok orang akan berangkat mendaki gunung pada pagi cerah yang indah itu. Semua perbekalan sudah disiapkan. Perjalanan pendakian itu akan memakan waktu cukup lama, terlebih apabila sampai ke puncak. Rombongan itu berkumpul di suatu tempat datar di kaki gunung itu. Beberapa ransel dan perbekalan digeletakkan saja di tanah, sementara pemiliknya mengobrol, bercengkerama satu sama lain dengan penuh semangat. Ada beberapa orang yang sempat berfoto ria mengambil momen indah pada tempat yang dirasa paling menyenangkan. 

Beberapa yang lainnya melongok-longok seolah menduga lereng, lembah, jurang, pohon-pohon  tinggi dan rindang serta perdu dan semak belukar. Hampir setiap orang dalam rombongan itu menjadi sangat antusias sebelum mulai mendaki. Mereka hampir tidak sabar menunggu untuk segera mulai mendaki lereng-lereng pegunungan, untuk mengambil foto-foto bersama untuk merayakan kemenangan.

Perjalanan pendakian yang penuh liku, tanah terjal, jalan setapak, harus menghalau ranting-ranting dan dahan yang menghalangi itu pun memberikan pengalaman tersendiri di benak peserta. Dengan semangat tinggi dan keceriaan mereka semua berjuang, mengatasi berbagai kesulitan dan rintangan selama pendakian. Hampir semua peserta ngos-ngosan, dengan keringat deleweran dan tenggorokan kering karena haus.

Kira-kira sudah tiga jam mereka mendaki, mereka beristirahat. Ada tempat peristirahatan dengan warung-warung dan restoran tua yang dapat dimanfaatkan untuk  melepaskan lelah dan dahaga. Dengan susah payah para pendaki yang lelah itu datang ke restoran atau pun warung-warung, melepaskan perlengkapan pendakian dan duduk-duduk di mana saja mereka suka sambil minum minuman hangat, dingin, panas,  teh, kopi, coklat panas atau yang lainnya. Beberapa orang bahkan sudah tak tahan membongkar perbekalan mereka untuk makan siang. Dengan latar belakang pegunungan yang sejuk, para pendaki itu menikmati pemandangan yang indah dan sahdu.

Menariknya, setelah mereka kenyang dan nyaman, kurang dari separuh pendaki itu memilih untuk melanjutkan perjalanan. Jika taat asas pada hukum Pareto, mungkin hanya seperlima saja yang memilih untuk mendaki sampai ke puncak. Yang tidak meneruskan pendakian, bukannya tidak mampu; bukan pula karena pendakian itu terlalu sulit. Keengganan melanjutkan pendakian itu karena mereka sudah puas dengan kondisi di mana mereka berada. Mereka kehilangan semangat untuk menggapai yang terbaik, untuk menjelajahi pemandangan-pemandangan yang belum pernah mereka bayangkan. Mereka telah merasakan sedikit keberhasilan dan mereka berpikir, ”Ini cukup baik!”

Seringkali kita melakukan hal yang sama. Kita memiliki sasaran untuk mematahkan kebiasaan buruk: mengurangi berat badan, rajin berdoa, rajin posting, rajin bersosialisasi, rajin mencari tambahan penghasilan. Awalnya kita begitu bersemangat. Kita begitu berapi-api memulainya. Tetapi setelah beberapa waktu, semangat itu melempem, seperti kerupuk, hot-hot chicken shit!, istilah TDW. Kita menjadi malas, kita menjadi puas diri. Mungkin kita hanya melihat sedikit perkembangan, namun kemudian kita merasa nyaman di mana kita berada. Di mana kita berada mungkin bukan tempat yang buruk-buruk amat. Tetapi kita tahu bahwa itu bukan tempat seharusnya kita berada. Kita tidak sedang mengembangkan  kualitas pribadi. Kita tidak sedang mengejar yang terbaik, yang sebenarnya masih dapat kita gapai, yang telah Sang Khalik sediakan untuk kita.

Pengalaman saya dalam perjalanan bersama Kompasiana, setidaknya memberikan gambaran seperti itu. Setelah dua kali gagal mengikuti Kompasianival, pada tahun ini saya berhasil mengikutinya walau tidak sampai tuntas. Berkaitan dengan tema “berbagi” saya perlu meninggalkan acara yang sebenarnya ingin saya reguk tuntaskan, namun panggilan tugas berbagi ternyata lebih penting. Esok paginya, saya ditunggu teman-teman guru PAUD di Limbangan Garut, untuk berbagi pengalaman dan wawasan dalam meningkatkan kualitas sebagai pendidik yang mumpuni.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun