Gegap gempita aroma mudik dengan segala pernik-perniknya mulai menghiasi hari-hari kita saat ini. Aneka ragam kisah mudik dengan segala bumbu dan variasinya menjadi menu harian yang senantiasa menarik untuk dicermati. Perjalanan panjang dan melelahkan, banyak rintangan dan halangan, yang memerlukan tak hanya kesabaran, kewaspadaan dan kehati-hatian, tetapi juga stamina dan tekad yang membaja, pada ujungnya bertujuan kumpul bersama keluarga. Pulang kembali ke pangkuan keluarga batih, keluarga inti, membangun kehangatan, kebersamaan, keakraban persaudaraan dan cinta, mengguratkan kebahagiaan yang nikmatnya tak tergantikan. Semoga “ritual” mudik yang saban tahun kita lakukan, mengingatkan kita semua, pada saatnya kita pun akan mudik ke tanah air keabadian, dengan tujuan yang satu dan sama: kebahagiaan!
Layaknya manusia, kita berharap ada perubahan dalam diri setelah menjalani laku puasa selama satu bulan penuh. Tidak berlebihan. Seharusnyalah, harapan itu menjadi nyata. Hati yang ringan, penuh ampunan dan rasa syukur, semangat baru, hidup baru. Itulah hasil ibadah puasa. Mudik, kumpul bareng dengan keluarga. Berkat silaturahim dan saling memaafkan satu sama lain, memberikan nuansa baru: semangat baru, tekad,baru, karya baru, dan komitmen baru untuk menjalani hari-hari yang lebih baik dalam hidup selanjutnya.
Inilah hari kemenangan! Layak untuk kita rayakan. Kemenangan yang diraih setelah berlatih dan berjuang melawan hawa nafsu. Berlatih jujur meski tanpa pengawas. Berlatih mengasah kepekaan jiwa yang jauh dari rasa gengsi dan tendensi. Berlatih dermawan dan ringan tangan (sukarela menolong) kepada yang memerlukan bantuan.
Salah satu tanda kemenangan cinta ini adalah: kebahagiaan memaafkan dan merelakan kekhilafan saudara kita. Sekaligus juga bermakna mohon maaf atas kekhilafan diri sendiri. Nuansa humanis yang kuat ini terbina secara otomatis manakala kita mendapatkan tuangan cinta Ilahi yang bersih dari hawa nafsu. Salah paham, buruk sangka, ketersinggungan, kekhilafan, kekonyolan yang disengaja dan tak disengaja, semua seolah sirna di hari kemenangan cinta ini.
Kebencian dan kemarahan, dengki, iri hati, arogan, serakah, dendam dan sakit hati yang masih bercokol pada pikiran, perkataan dan perbuatan, adalah sumber sakit penyakit yang mampu menyiksa dan menyengsarakan manusia. Memaafkan adalah obat mujarab yang mampu melepaskan, membebaskan dan memerdekakan manusia dari sakit penyakt itu.
Nuansa kebahagiaan kita rasakan karena kita benar-benar merasakan sentuhan cinta dan kasih sayang Ar-Rahman. Bukan hanya nuansa kepuasan spiritual dalam kekhusyukan dan ketenangan sujud, tahsin dan tilawah. Ada kepuasan dalam berbuat baik. Kita berbahagia karena harapan ampunan dan janji pembebasan-Nya seolah berada di depan mata. Kita pun berbahagia karena orang-orang yang berada di sekeliling kita juga merasakannya.
Kita semakin melengkapinya dengan latihan jujur dan terbuka dengan diri sendiri. Latihan pengendalian emosi. Latihan penguasaan diri. Latihan menghadapi situasi yang sebelumnya tidak diperkirakan. Dari latihan-latihan ini tanpa kita sadari memola hidup kita secara rapi.
Momentum mahal ini sudah seharusnya kita gunakan untuk mengendalikan diri kita agar senantiasa terkondisikan untuk tetap memelihara cinta Allah yang telah kita raih di bulan ini. Jangan kita kotori dengan kemunafikan, kekerdilan jiwa, kebodohan masa lalu yang diulang serta kelalaian.
Bulan Syawal adalah lembaran baru dalam hidup kita. Bulan pembenahan dan peningkatan pencapaian yang kita raih di bulan Ramadan. Paling tidak, kita perlu mempertahankan kejujuran yang kita latih sebulan penuh. Rasa lapang dada yang mulai bersemi dalam dada. Persaudaraan yang erat dan rasa persatuan yang terlihat mengental. Peka sosial dan ringan tangan menolong.
Karunia besar Allah dalam bulan Ramadan selayaknya kita syukuri. Sudahkah kita berterimakasih kepada Allah setiap harinya? Allah memberi kita hadiah 86.400 detik setiap harinya. Sudahkah kita menggunakan satu detik saja untuk mengucapkan ”terima kasih?”
Sudahkah pada hari yang berbahagia ini kita bersyukur kepada orang tua kita, suami atau istri kita, anak-anak kita, kakak dan adik kita, saudara-saudari, teman seprofesi dan sekantor kita, tetangga dan teman dekat kita, sanak famili dan orang-orang yang kehadirannya kadang tak kita rasakan telah memberi kontribusi bagi kehidupan kita.