Gambar Musang Luwak
Suatu siang di sebuah kantin sebuah Universitas di belahan Utara kota Bandung, kami bertemu. Sebelum memesan makanan, saya dan Pak SS, seorang teman dari Papua mencari meja dan kursi kosong untuk melepas lelah. Baru saja menurunkan tas gendong dan meletakkannya di atas meja, dua orang teman mendatangi meja kami, dan langsung nimbrung duduk di kursi yang masih kosong. Kami pun bersalaman sambil menanyakan kabar masing-masing.
Kami memang belum lama berkenalan, tetapi kami sudah akrab. RTS, seorang teman yang kini menjadi dosen di sekolah tinggi keguruan di Cimahi memperkenalkan beliau kepada saya. Tentu saja dengan diembel-embeli promosi yang berlebihan: yang paham tentang sastralah, yang sudah menulis bukulah..., dan celakanya teman baru itu percaya...
Namanya Khairuddin, dari Aceh. Ia mengingatkan saya pada dua orang teman dari Aceh yang mengajar di Universitas Syiah Kuala. Waktu RTS memperkenalkannya kepada saya, saya diminta membantu beliau untuk menyelesaikan disertasinya. Saya hanya tersenyum, lha wong saya sendiri belum pernah menulis disertasi. Saya siap saja jika saya mampu. Namun belum sempat saya memberikan bantuan, Pak Khairuddin sudah menyelesaikan disertasinya, bahkan sudah sidang terbuka. Saya sendiri tidak sempat menyaksikan beliau dalam sidang tersebut. SS, teman yang dari Papua malah sempat menyaksikannya. Saya hanya menyalaminya untuk mengucapkan “proficiat” atas kelulusannya sebagai dotor pendidikan.
Setelah basa-basi usai, Pak Khairuddin langsung memberi isyarat kalau beliau ada sesuatu yang akan disampaikan kepada kami berempat yang berkumpul di salah satu meja di kantin yang ramai itu.
“Begini. Saya punya sebuah puisi yang sudah saya tulis sejak tahun 1994. Puisii ini pernah dimuat di sebuah media cetak di Aceh. Gara-gara puisi ini, saya pernah berurusan dengan “yang berwajib”, di kala itu. Ini nih puisinya....”
“Ada kertas nggak? Biar saya tuliskan juga...!” Saya lalu meyodorkan selembar kertas putih kepadanya. Pak Khairuddin langsung nerocos mendeklamasikan puisinya. Sambil menulis, ia berkali-kali mengulang baris demi baris puisinya, dan nampak sekali ia membanggakan karyanya itu. Inilah puisinya itu.
Ketika Musang Berkalung Bunga
Tiga puluh dua tahun yang lalu aku musang,
karena harumku orang terkecoh mengalungkan bunga.
Tiga puluh dua tahun yang lalu aku musang,