Mohon tunggu...
Teha Sugiyo
Teha Sugiyo Mohon Tunggu... Guru - mea culpa, mea maxima culpa

guru dan pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Keruwetan: Selalu Ada Jalan Keluar

4 Februari 2016   10:24 Diperbarui: 4 Februari 2016   11:53 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Keruwetan: selalu ada jalan keluar"][/caption] Pada akhir tahun 2015 silam, saya diminta untuk mengisi acara rapat kerja pengurus wilayah organisasi profesi himpunan pendidik dan tenaga kependidikan anak usia dini (PW Himpaudi) Jawa Barat di Lembang. Rapat kerja yang sekaligus juga rapat koordinasi antarbidang kepengurusan organisasi.

Itu merupakan momentum baik untuk mengevaluasi apa yang sudah dilakukan oleh pengurus sepanjang tahun pelayanannya, dan sekaligus juga merupakan rencana kerja pada tahun yang sedang berjalan. Apa yang sudah tercapai dengan baik ditingkatkan menjadi lebih baik, apa yang belum tercapai, apalagi belum tergarap coba diupayakan untuk diberi perhatian lebih serius dalam menanganinya. Yang jelas organisasi harus berjalan menunju ke arah perbaikan terus menerus.

Hal ini tentu saja sejalan dengan komitmen awal yang disepakati bersama dalam visi organisasi, yaitu menjadikan: “Himpaudi Jawa Barat yang  profesional, mandiri dan mengayomi”. Kemudian visi itu dijabarkan dalam upaya untuk mencapainya dengan misi yang nampaknya sangat idealis: (1) Mengembangkan fungsionaris HIMPAUDI Jawa Barat yang handal dan profesional yang berkontribusi terhadap penguatan profesi anggotanya; (2) Mengembangkan sumber daya ekonomi organisasi yang berkontribusi terhadap optimalisasi pelaksanaan tugas dan fungsi HIMPAUDI Jawa Barat; dan (3) Membangun advokasi melalui akses kebijakan dan kemitraan yang dapat memantapkan peran HIMPAUDI Jawa Barat  dalam memajukan anggotanya.

Indah di konsep, tapi tak seindah dalam kenyataan. Faktanya organisasi yang coba menaruh kepedulian terhadap sekitar 65 ribu tenaga pendidik dan nonkependidikan anak usia dini di seluruh Jawa Barat ini, memang harus kerja, kerja dan kerja keras untuk mewujudkan impian bersama. Faktanya pada seluruh wilayah kerja yang terdiri atas 27 Kabupaten dan Kotamadya di Jawa Barat, nasib para pendidik anak usia dini ini, masih banyak yang sangat mengenaskan.

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 137 Tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Anak Usia Dini, Bab VII Pasal 24, mengungkapkan Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini. Pada ayat (2) dikatakan bahwa pendidik anak usia dini terdiri atas guru PAUD, guru pendamping dan guru muda. Pada pasal-pasal berikutnya dinyatakan kualifikasi akademik guru PAUD adalah berijazah D-IV atau S1 di bidang PAUD, guru pendamping berkualifikasi akademik D-II PGTK, atau SMA sederajat plus sertifikat pelatihan PAUD; guru pendamping muda berkualifikasi SMA atau sederajat dan memiliki sertifikat pelatihan PAUD jenjang pengasuh. Fakta di lapangan kondisi ideal itu masih jauh, belum terpenuhi.  

Kisah para guru atau pendidik anak usia dini, di pelosok-pelosok desa di Jawa Barat lebih banyak dukanya. Toh mereka tetap tegar. Mereka banyak yang tidak dibayar, alias relawan. Bahkan jika perlu mereka harus nombok. Tapi mereka tetap dengan suka hati menjalankan tugas dengan ikhlas. Untuk menghibur sesama pendidik anak usia dini, setiap kali mereka bertemu selalu terlontar kata-kata miris: “Bayarannya ‘sajuta’, dari Gusti Allah.”  Istilah “sajuta” itu adalah kependekan dari sabar, jujur dan tawakal.

Yah, itulah bayaran yang mereka dapatkan. Mereka menjadi guru-guru yang sabar, jujur dan tawakal menghadapi berbagai kesulitan hidup. Seorang pengurus Himpaudi dari Majalengka pernah mengatakan dalam rapat kecil pengurus daerah, dengan istilah yang memiliki makna begitu dalam memilukan: Kami para guru anak usia dini telah bekerja habis-habisan untuk memberikan yang terbaik bagi generasi mendatang. Berbagai gelombang, angin taufan dan gempa kesulitan kehidupan tak menyurutkan langkah kami.

Istilahnya dalam bahasa Sunda: “ Teu unggut kalinduan, teu gedag kaanginan”. Tetap gigih dan tegar, sekalipun badai taufan dan gelombang kesulitan menerjang. Memang, jika kita melihat ke lapangan, kita saksikan ibu-ibu guru muda usia yang berjuang tanpa pamrih untuk menjadi relawan sebagai guru-guru pendidik anak usia dini. Wajah-wajah yang lugu, polos, sederhana, bersahaja, namun di balik itu ada hati yang penuh kasih sayang, sabar, jujur, tulus, tawakal dan penuh keikhlasan. Di tengah kecingkrangan, mereka bekerja dengan sukaria...

[caption caption="Gelas terbuka gelas tertutup | Foto-foto ilustrasi oleh Rahardiyanto – PW Himpaudi Jabar."]

[/caption]

Kembali kepada pokok persoalan! Ketika para ketua pengurus daerah atau yang mewakilinya mengadakan rapat koordinasi pada akhir tahun silam di Lembang, saya diminta untuk membuka dan menutupnya dengan suatu permainan. Di antara 27 pengurus daerah dari Kabupaten/Kotamadya di Jawa Barat, yang hadir ada 22 orang. Yang lainnya berhalangan. Di tengah kemacetan akhir tahun, jarak Bandung-Lembang yang biasanya dapat ditempuh dalam waktu paling lama 1 jam, akibat macet total, menjadi 3 jam. Padahal saya menggunakan kendaraan motor. Kalau memnggunakan mobil pasti lebih lama lagi.

Untuk membuka rapat saya diberi jatah waktu 10 menit, sedangkan untuk menutupnya, saya minta 30 menit. Itu pun saya tegaskan sesudah sesi saya, tidak ada lagi sesi lain. Benar-benar sesi penghabisan, sehingga peserta tidak terganggu lagi oleh pemikiran-pemikiran lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun