Kelaurga besar D. Kasmita. Foto: Irvan Apriludin.
Istilah botram atau ngabotram, bagi sebagian besar masyarakat Sunda bukanlah hal yang asing lagi. Istilah ini merujuk pada sebuah kegiatan makan bersama yang dilakukan di luar rumah, seperti di halama, di kebun, di hutan, di pegunungan, di pantai, dan sebagainya, yang bertujuan rekreasi sambil mempererat rasa kekeluargaan. Ada kebiasaan bagi masyarakat Sunda melakukan kegiatan ngabotram sebelum bulan puasa atau sesudah lebaran. Acaranya sendiri bersifat informal, santai, penuh kehangatan persaudaraan dan kekeluargaan.
Menurut Noor Family, istilah botram kemungkinan besar berasal dari kata Bahasa Belanda “boterham” yang berarti “irisan roti isi mentega dan ham”. Dulu, pada masa penjajahan Belanda, orang-orang Belanda sering piknik di taman dan membawa bekal berupa roti. Makanan tersebut dimakan pada saat piknik. Orang-orang Sunda melihatnya, lalu oleh proses sejarah kata ‘boterham’ disesuaikan dengan lidah Sunda menjadi “botram” yang memiliki arti “makan bersama di luar rumah sambil menggelar tikar.”
Orang Sunda gemar sekali melakukan botram. Botram bagi orang Sunda memiliki arti kebersamaan dalam kesederhanaan. Hal ini tercermin dari menu makanan yang disediakan untuk botram. Menu makanan yang dibawa untuk botram biasanya : nasi timbel, nasi putih atau merah dibungkus daun pisang dengan cara menggulungnya, dan pada ujung-ujung daun dilipat-lipat ke dalam sedemikian rupa sampai rapi. Atau nasi liwet, nasi yang diberi bumbu dan ikan asin yang dimasak dalam kastrol (ketel untuk memasak nasi liwet), sambel lalap, ikan asin, tumisan, tahu/tempe, ayam goreng atau gepuk.
Jika botram dilakukan bersama teman atau keluarga besar biasanya setiap anggota akan urunan membawa makanan, misalnya ada yang hanya membawa nasi timbelnya, atau hanya membawa sambel lalap dan seterusnya. Makanan tersebut dikumpulkan dan dimakan bersama-sama. Di sinilah terletak kebersamaannya. Jenis makanannya pun sederhana saja, yang penting ada nasi, sambel lalap dan ikan asin juga cukup.
Di kebun Mang Asep Mulyana yang terletak di Pegunungan Cakrabuana, Desa Lemahputih, Kecamatan Lemahsugih, Kabupaten Majalengka, sehari setelah Lebaran kedua, keluarga besar Abah D. Kasmita melakukan botram. Keluarga itu terdiri atas Abah dan Emak serta anak cucu, yaitu Kel. Wak Endim - Nyai Ukoi dengan anak: Popong, Cucu dan Irvan Apriludin ditambah menantu: Dodi, Indra dan 5 orang cucu; Kel. Hitob - Euis dengan 2 anak: Yayang dan Agung; Kel. Asep - Dewi, dan 2 orang anak: Marshal dan Oriana; Kel. Napih - Neng Dewi, dan keluarga Lilis, dengan 2 orang anak: Sura dan Iyan. Masih ada dua cucu Abah, yaitu Yuni Hartati, dari Bekasi, ayah dan mamanya sudah pulang duluan sewaktu lebaran kedua; dan Gan Gan, anak Kel. Agus Saleh, yang juga sudah pulang ke Bandung duluan bersama istri dan dua orang anaknya. Jumlah semua peserta botram 30 orang.
Lokasi yang dituju terletak sekitar 15 km dari Kampung Medarjaya, Kelurahan Banjarsari, Kecamatan Jatinunggal, Kabupaten Sumedang, tempat keluarga besar Abah Kasmita berkumpul. Kampung Medarjaya ini dekat waduk Jatigede yang saat ini sedang menjadi berita hangat karena masyarakat yang terkena dampak.
Perjalanan ditempuh dengan kendaran Daihatsu Zebra 2003, bak terbuka, Suzuki Sidekick, dan Sedan Vios. Kendaraan itu disediakan untuk para orang tua, sedangkan 6 unit motor lagi dikendarai oleh anak-anak dan cucu-cucu. Zebra bak terbuka itu disupiri oleh Mang Asep. Di sampingnya duduk isterinya yang menggendong Oriana, 4 thn. Di bak terbuka itu terdapat perabotan yang berupa beras, kastrol, wajan, panci, cowet, ulekan, piring, bumbu-bumbu, kangkung, kecap, tikar, air mineral, ikan mas dalam kantong plastik besar berisi air, yang sewaktu-waktu masih kokolojotan, gedubrakan dalam tempat yang sempit itu. Di samping itu mash ada 3 penumpang, Gan Gan, Lilis dan yang menulis laporan ini.
Suzuki Sidekick dikendarai oleh Indra, yang mengangkut Cucu sang istri, dan anak-anak, serta Wak Ukoi, Popong dan anak-anaknya. Di sedan Vios, Napih sebagai supir, didampingi istrinya, Neng Dewi, dan di belakang duduk Abah Kasmita dan Emak. Yang lainnya, naik sepeda motor.
Kami berangkat pukul 10.00 WIB. Sepanjang jalan kami melewati sawah dan hutan. Jalan berkelok-kelok, banyak tanjakan dan turunan tajam, kadang di kiri atau kanan terdapat jurang menganga. Dibutuhkan kemahiran mengemudi, di samping kesabaran dan kewaspadaan. Jalan yang sempit itu hanya pas untuk dua kendaraan roda empat yang berpapasan berlawanan arah. Pemandangan pegunungan yang indah, sawah yang masih ijo royo-royo membuat mata sejuk. Semilir angin pegunungan yang menerpa membuat perjalanan semriwing menyegarkan.