[caption caption="bedah buku Yosi, anak sulung Pak Sabda, Uskup Bandung, penulis dan Prof. Jakob Sumardjo."][/caption]Seorang bapak yang berpenampilan sederhana dengan paras yang mamancarkan kebijaksanaan mengayuh sepeda ontel. Kemilau dunia modern tak menyilaukan matanya. Kemajuan ilmu dan teknologi tak mengerdilkan jiwanya. Keberhasilan anak-cucunya tak mengendorkan semangat kerjanya.
Itulah Pak Sabda yang setia mengabdikan diri tanpa mengenal batas usia karena pelayanan sudah menjadi darah dan rohnya. Kalau Pak Sabda berbicara, semua diam, mengangguk setuju, dan siap melaksanakannya. Itulah sang Abah yang memiliki "sabda".
Demikian sepenggal sambutan Uskup Bandung, Mgr. Antonius Subianto B. OSC, di hadapan sekitar 200 orang yang hadir dalam acara peluncuran buku Eduardus Sabda, Abah yang Bersabda dan Bersahaja, di aula SD St. Yusup Jl. Cikutra 7 Bandung, pada akhir tahun 2015 silam.
Buku biografi tentang seorang tokoh Sunda yang sepanjang masa kehidupannya mengabdikan diri di dunia pendidikan itu diterbitkan oleh Gramedia pada akhir Oktober 2015. Tidak hanya peluncuran, tetapi sekaligus juga dilakukan bedah buku. Di samping Uskup Bandung, pembicara lain dalam bedah buku itu adalah Prof. Jakob Sumardjo, pakar Semiotika Sunda, yang konon kini dipercaya sebagai Ketua Dewan Kesenian Jawa Barat.
Jika Uskup Bandung menjelujuri buku itu dari sisi nilai-nilai yang dikandungnya, Jakob mencoba mengulas dari sisi kesundaannya. Menurut budaya Sunda pada umumnya, figur Pak Sabda adalah menyimpang dari tradisi Sunda. Nama “Edo Sabda”, menunjukkan adanya penyimpangan dari kolektivitas umum. Tidak ada kesan khas nama Sunda. Apalagi pendidikan yang ditempuhnya di sekolah van Lith Muntilan, semakin membuat pola pikirnya menjauh dari kesundaannya, meskipun ciri khas kesundaan tetap melekat pada pribadinya.
Uskup Bandung yang pernah mengalami pendidikan dari Pak Sabda sewaktu kuliah di Fakultas Filsafat Unpar, dengan begitu jeli dan cermat mengungkap kembali nilai-nilai keteladanan yang diberikan sang figur. Bahkan penulisnya sendiri mengakui tidak pernah terpikir sebegitu kaya dan mendalamnya nilai-nilai yang dapat diungkapkannya.
[caption caption="bedah buku"]
Di balik kehidupan Pak Sabda yang luhur tersebut, ada seseorang yang tulus mendengarkan dan melaksanakan "sabdanya", yaitu Ibu Maria Magdalena Tarmini sebagai istri yang setia dan ibu yang lembut. Tanpa Ibu Tarmini, tak mungkin Pak Sabda menjadi Abah yang memiliki sabda seperti yang kita kenal. Kehadirannya yang tanpa ujaran pun ternyata menyampaikan "sabda" yang bertuah; membawa berkat dan memberi rahmat serta bimbingan dan tuntunan sebagai sesepuh yang bijaksana yang menerapkan kebenaran, kebaikan, dan kesantunan.
Jadwal hidupnya yang padat dan tak kenal lelah: mengajar, mengatur anak-anak asrama, menyiapkan tugas, dan mengurus anak-anak termasuk tugas "ibu rumah tangga" dengan keiklasan seorang ayah yang penuh kasih sayang menjadi "ajaran" bernas bagi anak-anaknya. Abah begitu kuat. Apih sangat rajin; luar biasa.
Ketegasannya dalam kebenaran yang diterapkan melalui disiplin yang tinggi kepada siapa pun dengan cara didikan Seminari Cadas Hikmat agar menguasai ilmu yang hikmat dan iman yang kuat menjadi sabda yang memotivasi anak-anak.
Kecintaan pada keluarga yang diperlihatkan melalui ketegasannya dalam mendidik anak-anaknya supaya mereka menjadi "orang" dan dalam mencari nafkah, menjadi sabda yang meneguhkan perjuangan anak-anaknya