[caption caption="www.shutterstock.com"][/caption]Anggap saja kita bekerja di sebuah perusahaan yang bukan abal-abal. Sewaktu kita melamar pekerjaan, kita dites. Jika kita lulus dan dinyatakan diterima, sebelum kita bekerja, kita menandatangani surat perjanjian kerja. Pada intinya, perjanjian kerja itu merupakan kesepakatan bersama yang mengatur bahwa sebagai karyawan (baru) kita sanggup bekerja dengan sebaik-baiknya, menaati segala peraturan dan bersedia menomorsatukan perusahaan. Sebelum kita tandatangani, tentunya kita baca terlebih dahulu. Jika tidak ada keberatan berarti kita setuju. Dan jika kita sudah menandatanganinya, itu berarti kita setuju untuk mengikatkan diri dalam perjanjian tersebut. Dengan istilah lain, ada kesepakatan antara kita dengan pihak perusahaan. Ada komitmen. Meski tidak kita ucapkan dengan menandatanganinya, berarti kita menyetujuinya.
Pada hari-hari awal kita bekerja, biasanya kita bekerja dengan giat, gigih, rajin, jujur, tak pernah mangkir dan penuh semangat. Bahkan ketika kita menerima gaji pertama, barangkali kita serahkan pada orangtua, atau menraktir teman, saudara atau siapa saja. Pokoknya kita antusias. Kita mungkin bercerita kepada teman, saudara, orangtua, tetangga atau siapa saja tentang pengalaman-pengalaman awal kita bekerja. Semua kita katakan dengan gairah dan semangat serta penuh kebanggaan, bahwa kita dapat diterima di sebuah perusahaan yang menurut kita bonafide.
Ketika hari-hari awal berlalu, dan kita menginjak pada bulan-bulan atau tahun-tahun berikutnya, gairah dan semangat kerja kita mulai luntur. Kita tak lagi bersemangat. Kita bahkan sering malas, mangkir atau mencari-cari kesempatan untuk dapat melanggar aturan dan tata tertib sekecil apa pun. Apalagi dengan situasi yang banyak mengalami perubahan, apakah yang namanya krisis : krisis kepercayaan, krisis kepemimpinan, krisis semangat atau krisis total. Atau dalih-dalih yang lain. Pertanyaan yang dapat kita ajukan adalah, “Ke mana lagi komitmen yang dulu pernah kita ucapkan? Apakah komitmen yang dulu pernah kita tancapkan dalam hati itu, masih kita lakukan? Sejauh mana kesetiaan kita pada janji atau komitmen yang dulu pernah kita tandatangani itu?”
Terus terang, jika kita berani jujur, banyak di antara kita yang sudah meninggalkan komitmen itu. Banyak yang telah tidak setia, dan melanggar janji-janji yang dulu pernah terpateri. Alasan klise yang sering kita dengar: LUPA!
Nah, pada kesempatan ini kita disadarkan, kita diingatkan, agar komitmen itu kita gelar kembali, kita hidupkan lagi. Banyak di antara kita yang telah anjlok semangatnya. bahkan di antara kita, mungkin ada yang sampai demotivasi dan tak lagi bergairah untuk bekerja secara baik.
Bukan Beban, tapi Kewajiban
Bekerja dengan baik bukanlah suatu beban, tetapi kewajiban kita. Boleh dikatakan begini. Kita punya potensi untuk menyelesaikan pekerjaan. Katakan nilainya rata-rata 100, sedangkan yang kita gunakan saat ini hanya 60 saja. Jika perusahaan meminta kita untuk memenuhi kemampuan rata-rata kita yang 100 itu, maka hal ini bukanlah suatu tuntutan dari perusahaan, juga bukan merupakan beban bagi kita, tetapi sudah menjadi kewajiban kita.
Jadi, dengan bekerja secara baik, memberikan layanan secara prima, bukanlah suatu tuntutan yang menjadi beban kita, melainkan sudah menjadi keharusan dan kewajiban kita untuk melakukannya.
Jika saat ini kita diingatkan kembali untuk memberikan layanan secara baik, untuk bekerja dengan penuh tanggung jawab. Ini berarti suatu kesempatan bagi kita untuk meningkatkan kualitas pribadi dan diri kita.
Dengan demikian, jika ada pertanyaan, “Kalau sudah bekerja dengan baik, penghargaan apa yang bakal kita terima? Apakah kita akan mendapatkan insentif tambahan atau kenaikan gaji?” Jika kita menyadari hakikat dari potensi yang kita milki, dan yang seharusnya kita berikan kepada perusahaan, maka pertanyaan semacan itu tentunya tidak perlu lagi kita ajukan.
Emas itu Bisa Mengkilat karena Ditempa
Sebongkah emas berasal dari daerah pertambangan. Pada awal jadinya emas itu bersatu dengan tanah, pasir, bahkan sampah yang jelek, kotor, bau dan belum berbentuk. Emas itu digali oleh kaum penambang emas, lalu diayak dalam ayakan, irikan, yang khusus dibuat untuk itu. Butir-butir emas itu kemudian nampak beda dengan pasir-pasir biasa. Laksana butiran beras yang memang sudah berwarna emas, butir-butir itu dipisahkan. Untuk memudahkan pemisahan, konon kaum pendulang emas itu menggunakan air raksa, karena berat jenis emas lebih kecil dari air raksa, sehingga emas itu akan mengapung pada air raksa.
Proses selanjutnya emas dimasukkan ke dalam suatu wadah, lalu dibakar dengan panas ribuan derajat dalam dapur api. Jika emas telah meleleh, mencair, maka mulailah dibentuk, ditempa, dipukul, digosok-digosok, dihaluskan. Ada yang dibentuk menjadi cincin, gelang, kalung, dan perhiasan-perhiasan lainnya. Bahkan ada pula yang ditambah dengan batu-batu mulia lain, seperti, intan, permata, dan lainnya. Jika proses sudah selesai, maka emas tadi mulai ditempatkan dalam sebuah showcase atau fitrin, dan dipasang label harga yang cukup mahal. Berapa harga 1 gram emas saat ini? Seandainya dalam proses pengolahan emas menjadi perhiasan, emas tadi memiliki jiwa dan perasaan, apa yang terjadi? Mungkin dia akan menjerit-jerit kesakitan, mengaduh dan melolong-lolong pada saat dirinya ditempa...