Di luar halaman sekolah rendah di pinggir jalan, ada seorang penjual balon. Namanya Mang Dul. Ia selalu mangkal di sana. Sudah beberapa lama ia berjualan balon warna-warni itu. Kadang kala ia juga menjual mainan anak-anak seperti kartu-kartu bergambar, karet gelang dan permen.
Ada kebiasaan yang selalu dilakukan oleh Mang Dul penjual balon itu. Ia sangat hafal waktu istirahat anak-anak sekolah. Beberapa menit sebelum jam istirahat tiba ia selalu memutar lagu-lagu anak yang telah direkamnya, dan dihubungkan dengan pengeras suara. Jika jam istirahat tiba, volume suara dari lagu-lagu ceria yang diputarnya itu diperkeras. Lalu dengan tenangnya, Mang Dul akan menerbangkan balon-balon warna-warni itu, sehingga balon-balon itu terbang meliuk-liuk di udara. Hal itu dilakukan oleh Mang Dul untuk menarik perhatian anak-anak. Dengan balon terbang dan lagu yang diperkeras itu seolah Mang Dul memanggil-manggil anak-anak untuk mengerumuni dagangannya. Harapannya, anak-anak yang merupakan konsumen potensialnya itu membeli dagangannya.
Biasanya, strategi pemasaran itu cukup manjur, sehingga Mang Dul selalu mengulangi keberhasilan itu. Jika pembelinya lagi sepi, maka dia mencoba mencari kemungkinan lain yang dapat menarik pembeli. Yang penting dagangannya laku, dan ia dapat menyambung hidup dari hari ke hari.
Pada suatu hari, saat istirahat sekolah tiba, seperti biasanya Mang Dul menerbangkan balon warna-warni yang dengan segera terbang mengangkasa. Ada balon warna putih, hijau, kuning, merah meliuk-liuk diterpa angin pagi. Lagu ceria sudah membahana juga. Anak-anak yang tertarik sudah banyak yang mendekati dagangannya. Ada saja yang mereka beli sehingga Mang Dul saat itu merasa kewalahan meladeni pembeli-pembeli cilik itu.
Di tengah kesibukannya melayani pembelinya, ada seorang bocah yang mendekati Mang Dul, sambil terus melihat ke atas. Ia melihat balon warna-warni itu terbang makin lama makin tinggi. Bocah itu memakai pakaian seragam yang sudah lecek. Agak kedodoran, mungkin pakaian lungsuran dari kakaknya atau saudaranya, atau dari pemberian orang lain. Wajahnya kucel, kulitnya hitam legam, dan rambutnya yang agak gondrong itu dibiarkan acak-acakan. Dengan takut-takut ia mendekati Mang Dul. Karena sibuk melayani pembeli, Mang Dul tidak begitu memerhatikan sang bocah.
Tiba-tiba dengan keberanian yang dipaksakan, bocah itu menyenggol Mang Dul. Dengan malu-malu dan sedikit takut ia bertanya kepada Mang Dul.
“Mang, bolehkah saya bertanya?” kata sang bocah sambil menjawil lengan Mang Dul.
“Boleh saja. Ada apa? Silakan! Gapapa kok!” jawab Mang Dul sambil masih melayani pembeli lain.
“Kalau... eee... kalau... balon itu bewarna hitam.... apakah dia juga bisa terbang?”
Degg... Mang Dul merasa tertonjok ulu hatinya. Ia menghentikan kesibukannya, lalu menatap bocah itu dari ujung rambut sampai ujung kaki. Sepatunya sudah sobek. Ia mengecilkan volume suara lagu, dan dengan serta merta jongkok sambil memeluk sang bocah yang masih merasa malu-malu dan takut itu.
“Nak...!” katanya masih dengan merengkuh sang bocah dengan pandangan yang tajam ke arah matanya, “bukan karena warnanya balon itu bisa terbang, tetapi karena isi yang ada di dalamnya!” Mang Dul mengucapkan kata-kata itu dengan tekanan dan nada yang jelas. Kata-kata itu menembus jantung hati sang bocah. “Bukan karena warnanya balon itu bisa terbang, tetapi karena isi di dalamnya!” Bocah itu pun manggut-manggut sambil meresapkan kata-kata itu seolah ingin diejanya, dimamahnya, ditelannya, direnungkan untuk dipahami maknanya.