Mohon tunggu...
Teha Sugiyo
Teha Sugiyo Mohon Tunggu... Guru - mea culpa, mea maxima culpa

guru dan pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

[Aturan Ganjil Genap] Tergantung pada Sikap

30 Agustus 2016   19:35 Diperbarui: 30 Agustus 2016   19:56 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi orang yang tidak memiliki masalah keuangan, aturan ganjil genap bagi kendaraan roda empat, tidak menjadi masalah. Bahkan hal itu dapat saja memicu keinginan untuk memiliki mobil dobel.

Satu berpelat nomor ganjil, dan satunya lagi berpelat nomor genap. Urusan mendapatkan nomor kedaraan sesuai dengan keinginannya, kan dapat dipesan pada saat mengurus STNK.

Kalau tidak demikian, dapat  saja membeli mobil dengan nomor ganjil atau genap sesuai dengan yang belum dimilikinya. Dengan demikian pada tanggal-tanggal ganjil dia dapat menggunakan mobil berpelat nomor ganjil dan pada tanggal-tanggal genap dia dapat mengendarai mobilnya yang berpelat nomor genap. “Gitu aja kok repot!”kata Gus Dur.

Bagi orang yang tidak punya mobil, ya EGP saja. Emangnya Gue Pikirin? Atau kalau menurut gaya  bicara seorang pelawak  jadul, seangkatan Kadir,  “HIV, Hemang Ike Vikirin?”

Bagi yang hanya punya satu mobil dengan nomor ganjil saja atau genap saja, jka memungkinkan, ya pada hari-hari tertentu lewat jalan yang dikhususnya untuk kendaraan tersebut, sesuai aturan. Pada  hari-hari lain, ya cari jalan lain toh? Tentu saja kalau memang ke daerah tujuan itu banyak jalan. Lha kalau  hanya ada satu jalan itu saja, ya terpaksa, kalau hari tertentu pakai mobil, hari-hari lain naik kendaraan umum. Apa susahnya?

Memang masalahnya tidak sesederhana itu bagi tiap kepala, karena setiap orang punya pendapatnya sendiri, punya kepentingannya sendiri.  Hal yang bisa disederhanakan seringkali dipersulit. Motonya: kalau bisa dipersulit, mengapa dipermudah?  Bukan sebaliknya. Contohnya dalam pekerjaan. Pekerjaan yang seharusnya dapat diselesaikan dalam satu jam, seringkali menjadi berlarut berhari-hari... Yang dapat diselesaikan dalam satu atau dua hari menjadi berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan...  (Maaf ini pengalaman saya sendiri).

Kebijakan atau aturan ganjil genap dibuat untuk memerlancar arus lalu lintas, mencegah kemacetan.  Aturan itu dibuat untuk tujuan yang baik, demi kepentingan umum, kepentingan bersama warga DKI. Bukan sebaliknya, untuk menghambat, memersulit , atau bahkan untuk dilanggar!

Alangkah bijak jika kita dapat mengingat bahwa kelancaran, kelegaan, kepuasan,  kebahagiaan, keberhasilan atau apalah namanya, seringkali ditentukan oleh sikap kita.  “Perubahan hidup yang paling bermakna dalam hidup adalah perubahan sikap. Sikap yang benar akan menghasilkan tindakan yang benar”, kata Tung Desem Waringin.

Sikap itu sendiri adalah pernyataan evaluatif terhadap objek, orang atau peristiwa. Hal ini mencerminkan perasaan seseorang terhadap sesuatu. Sikap mempunyai tiga komponen utama: kesadaran, perasaan, dan perilaku,  kata Wikipedia.

Tanggapan terhadap kebijakan  ganjil genap, tergantung  pada sikap tiap orang pengguna jalan itu, atau yang terkena dampak kebijakan. Perihal sikap itu sendiri paling tidak ada dua hal: positif, negatif. Seorang yang bersikap positif selalu menilai segala sesuatu dari sisi positif, sisi baik, yang menyenangkan, yang memudahkan. Seseorang yang bersikap negatif selalu menangkap segala peristiwa dari sisi jeleknya, negatifnya, tidak menyenangkan, menyulitkan.

Orang yang bersikap positif selalu melihat peluang dalam setiap peristiwa. Orang yang bersikap negatif selalu menangkap kesulitan dalam setiap peristiwa. Saya selalu menganalogikan dengan bunga mawar di kebun setiap menjelaskan  sikap positif  dan negatif ini kepada mahasiswa.  “Bayangkan di sebuah kebun ada pohon mawar yang sedang berbunga.

Warnanya merah menyala. Sekelompok mahasiswa melewati kebun bunga itu, dan mereka berucap, ‘Alangkah indahnya bunga mawar itu! Harum semerbak baunya!’  Tak berapa lama kemudian, ada kelompok mahasiswa lain yang melihat bunga mawar yang sama. Mereka berkata, ‘Sayang, bunga mawar itu banyak durinya!’” Bunga mawarnya sama tetapi penilaian, sikap, cara pandang mereka yang berbeda.   

Kembali kepada aturan ganjil genap, hal itu terpulang kepada sikap para pengendara atau pemilik mobil yang melewati jalur yang telah ditentukan untuk aturan itu. Bagi orang yang berpikir dan bersikap positif, aturan itu justru akan memudahkan, melancarkan,  menyenangkan,  dan tentu saja efektif, tetapi bagi yang bersikap negatif, tentu saja akan terjadi sebaliknya.

Sikap yang kita lakukan berulang-ulang, akan membentuk kebiasaan. Kebiasaan yang dilakukan berulang akan membentuk watak. “Semua orang itu sama, tetapi kebiasaan yang membuat kita berbeda”, kata Konfusius.  Maka, mari kita miliki satu kebiasaan baik yang membuat kita berbeda dari orang lain.

Semoga!

Bandung, 30 Agustus 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun