Bagi orang yang tidak memiliki masalah keuangan, aturan ganjil genap bagi kendaraan roda empat, tidak menjadi masalah. Bahkan hal itu dapat saja memicu keinginan untuk memiliki mobil dobel.
Satu berpelat nomor ganjil, dan satunya lagi berpelat nomor genap. Urusan mendapatkan nomor kedaraan sesuai dengan keinginannya, kan dapat dipesan pada saat mengurus STNK.
Kalau tidak demikian, dapat saja membeli mobil dengan nomor ganjil atau genap sesuai dengan yang belum dimilikinya. Dengan demikian pada tanggal-tanggal ganjil dia dapat menggunakan mobil berpelat nomor ganjil dan pada tanggal-tanggal genap dia dapat mengendarai mobilnya yang berpelat nomor genap. “Gitu aja kok repot!”kata Gus Dur.
Bagi orang yang tidak punya mobil, ya EGP saja. Emangnya Gue Pikirin? Atau kalau menurut gaya bicara seorang pelawak jadul, seangkatan Kadir, “HIV, Hemang Ike Vikirin?”
Bagi yang hanya punya satu mobil dengan nomor ganjil saja atau genap saja, jka memungkinkan, ya pada hari-hari tertentu lewat jalan yang dikhususnya untuk kendaraan tersebut, sesuai aturan. Pada hari-hari lain, ya cari jalan lain toh? Tentu saja kalau memang ke daerah tujuan itu banyak jalan. Lha kalau hanya ada satu jalan itu saja, ya terpaksa, kalau hari tertentu pakai mobil, hari-hari lain naik kendaraan umum. Apa susahnya?
Memang masalahnya tidak sesederhana itu bagi tiap kepala, karena setiap orang punya pendapatnya sendiri, punya kepentingannya sendiri. Hal yang bisa disederhanakan seringkali dipersulit. Motonya: kalau bisa dipersulit, mengapa dipermudah? Bukan sebaliknya. Contohnya dalam pekerjaan. Pekerjaan yang seharusnya dapat diselesaikan dalam satu jam, seringkali menjadi berlarut berhari-hari... Yang dapat diselesaikan dalam satu atau dua hari menjadi berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan... (Maaf ini pengalaman saya sendiri).
Kebijakan atau aturan ganjil genap dibuat untuk memerlancar arus lalu lintas, mencegah kemacetan. Aturan itu dibuat untuk tujuan yang baik, demi kepentingan umum, kepentingan bersama warga DKI. Bukan sebaliknya, untuk menghambat, memersulit , atau bahkan untuk dilanggar!
Alangkah bijak jika kita dapat mengingat bahwa kelancaran, kelegaan, kepuasan, kebahagiaan, keberhasilan atau apalah namanya, seringkali ditentukan oleh sikap kita. “Perubahan hidup yang paling bermakna dalam hidup adalah perubahan sikap. Sikap yang benar akan menghasilkan tindakan yang benar”, kata Tung Desem Waringin.
Sikap itu sendiri adalah pernyataan evaluatif terhadap objek, orang atau peristiwa. Hal ini mencerminkan perasaan seseorang terhadap sesuatu. Sikap mempunyai tiga komponen utama: kesadaran, perasaan, dan perilaku, kata Wikipedia.
Tanggapan terhadap kebijakan ganjil genap, tergantung pada sikap tiap orang pengguna jalan itu, atau yang terkena dampak kebijakan. Perihal sikap itu sendiri paling tidak ada dua hal: positif, negatif. Seorang yang bersikap positif selalu menilai segala sesuatu dari sisi positif, sisi baik, yang menyenangkan, yang memudahkan. Seseorang yang bersikap negatif selalu menangkap segala peristiwa dari sisi jeleknya, negatifnya, tidak menyenangkan, menyulitkan.
Orang yang bersikap positif selalu melihat peluang dalam setiap peristiwa. Orang yang bersikap negatif selalu menangkap kesulitan dalam setiap peristiwa. Saya selalu menganalogikan dengan bunga mawar di kebun setiap menjelaskan sikap positif dan negatif ini kepada mahasiswa. “Bayangkan di sebuah kebun ada pohon mawar yang sedang berbunga.
Warnanya merah menyala. Sekelompok mahasiswa melewati kebun bunga itu, dan mereka berucap, ‘Alangkah indahnya bunga mawar itu! Harum semerbak baunya!’ Tak berapa lama kemudian, ada kelompok mahasiswa lain yang melihat bunga mawar yang sama. Mereka berkata, ‘Sayang, bunga mawar itu banyak durinya!’” Bunga mawarnya sama tetapi penilaian, sikap, cara pandang mereka yang berbeda.
Kembali kepada aturan ganjil genap, hal itu terpulang kepada sikap para pengendara atau pemilik mobil yang melewati jalur yang telah ditentukan untuk aturan itu. Bagi orang yang berpikir dan bersikap positif, aturan itu justru akan memudahkan, melancarkan, menyenangkan, dan tentu saja efektif, tetapi bagi yang bersikap negatif, tentu saja akan terjadi sebaliknya.
Sikap yang kita lakukan berulang-ulang, akan membentuk kebiasaan. Kebiasaan yang dilakukan berulang akan membentuk watak. “Semua orang itu sama, tetapi kebiasaan yang membuat kita berbeda”, kata Konfusius. Maka, mari kita miliki satu kebiasaan baik yang membuat kita berbeda dari orang lain.
Semoga!
Bandung, 30 Agustus 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H