Mohon tunggu...
Teha Sugiyo
Teha Sugiyo Mohon Tunggu... Guru - mea culpa, mea maxima culpa

guru dan pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

[FITO] Kisah Pohon Tua

24 Agustus 2016   15:47 Diperbarui: 24 Agustus 2016   16:01 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Ih, gundul, jelek, tak menarik,” katamu sambil menatap carang-carang yang meranggas. “Aku tak mau lagi bermain-main denganmu!” Kau ngeloyor meninggalkanku.

“Sekarang, kau tak pernah lagi menaiki pohonku. Mungkin kau tak suka lagi padaku! Dulu sewaktu daunku rimbun, tak hanya kau, burung-burung kecil terbang dari dahan ke dahan, dari ranting ke ranting sambil bercericit riang gembira. Mereka mengajak-saudara-saudaranya dan bersarang pada cabang-cabang yang gembur. Mereka beranak pinak sambil terus bercericit setiap pagi mengucap puji syukur pada mentari yang tak pernah ingkar janji berseri menyinari bumi untuk menghasilkan rejeki hari ini bagi siapa saja yang mencari untuk dibagi.”

“Kini tidak lagi. Kau bilang tubuhku meranggas kering kerontang menyisakan banyak kisah masa silam aneka ragam.  Kau lihat daun-daunku berguguran tak sehelai pun tersisa? Kau eja pohon cabang dahan dan ranting mengering menusuk langit menghunjam bumi? Tak elok saat daun-daun berguguran. Tak indah saat carang-carang kecingkrangan. Tak menarik saat angin berhenti menyampaikan bisik. Tapi masa-masa kerontang ini kan harus kuhadapi, hayati, jalani, nikmati”.

“Enam ratus purnama telah kulewati tidak dengan sia-sia. Toh kau tak juga merasa. Bukankah rajawali juga mematuk-matukkan paruhnya sambil mencabuti bulu-bulunya demi memerpanjang usia?  Bukankah ular juga melingkar-lingkar menukar kulit luar supaya nampak lebih segar, cantik dan perkasa? Bukankah ulat bulu harus melewati lorong kepompong sempit menjepit melibas lemak untuk keluar sebagai kupu-kupu jelita?”

Panta rhei, kei kuden manei... segalanya terus mengalir. Ada malam ada hari, ada petang ada pagi,  ada tawa dan sedih hati, ada musim silih berganti. Masihkah kau sangsi? Bukankah buah anggur harus digilas diperas untuk menghasilkan wine yang berkelas? Bukankah biji kopi harus dipilih dipilah dijemur digarang digoreng ditumbuk digiling untuk menghasilkan serbuk yang memberi kenikmatan bergengsi? Bukankah bulir-bulir gabah harus dijemur dipukul ditumbuk digiling dikupas menjadi beras disimpan untuk ditanak menjadi lunak  atau dilebur menjadi bubur sebagai makanan demi segumpal nikmat, sehat dan bermanfaat?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun