Kemarin adalah sejarah. Esok adalah rahasia. Hari ini adalah hadiah. Kita mungkin pernah mendengar ungkapan itu. Yang kita miliki adalah hari ini saja. Kita tidak mungkin mengubah hari kemarin yang sudah berlalu, sudah menjadi sejarah. Kita juga tidak mampu menyibak hari esok yang penuh rahasia, misteri.
Sekalipun kita dapat mengimpikannya, kita tidak dapat mengunjunginya. Kita tidak hidup di alam impian dan cita-cita. Yang dapat kita kerjakan dan kita hidupi hanya hari ini. Hari ini adalah realitas. Hidup kita yang sesungguhnya adalah “hic et nunc”, di sini saat ini. Realitas. Fakta. Nyata.
Apa yang kita kerjakan hari ini akan menentukan masa depan kita. Apakah masa depan itu kita rencanakan secara berkualitas atau asal-asalan, tergantung apa yang kita lakukan pada hari ini.
Tayangan Life is Short dalam www.playmore.com yang berdurasi sekitar 50 detik menggambarkan sebuah kehidupan yang singkat. Saat bayi lahir dari rahim seorang ibu, begitu lahir “ceprot” mengalami masa kanak, masa remaja, dewasa, tua sampai kembali ke liang kubur, selamanya manusia itu tidak pernah “bangun”, tetap dalam kondisi “tidur”. Hidup itu singkat, dan selama hidup yang singkat itu kita tidak pernah “bangun”. Kita tidak pernah berada dalam kondisi “bangun”. Itu sebabnya Anthony de Mello mengingatkan kita dalam Awareness, kesadaran, supaya kita hidup dalam kondisi “bangun”, sadar.
Ada kisah lama yang sangat indah dan populer tentang merancang “rumah masa depan” yang mengingatkan kita untuk tidak merancang masa depan yang asal-asalan saja.
Seorang tukang bangunan bermaksud pensiun dari pekerjaannya di sebuah perusahaan real estate. Ia ingin segera beristirahat dan menikmati sisa hari tua dengan penuh kedamaian bersama istri, anak-anak dan cucu-cucunya. Niat untuk pensiun itu, ia sampaikan kepada bos. Pemilik perusahaan merasa sedih, sebab ia akan kehilangan seorang karyawan terbaik. Akhirnya, pemilik perusahaan meminta pada tukang bangunan itu untuk membuatkan sebuah rumah sebagai karya terakhir di perusahaan itu.
Tukang bangunan mengangguk setuju, walau sebenarnya ia merasa terpaksa. Ia ingin segera istirahat. Rumah itu pun tidak ia kerjakan dengan sepenuh hati, cenderung ogah-ogahan, asal-asalan. Ia hanya menggunakan bahan sekadarnya. Yang penting rumah itu cepat selesai, supaya ia cepat dapat beristirahat. Begitu pikirannya. Dalam waktu singkat, selesailah rumah yang diminta. Hasilnya bukanlah sebuah rumah dengan kualitas baik, sekalipun dari luar tampak bagus.
Ketika pemilik perusahaan datang dan melihat rumah yang dimintanya, ia menyerahkan kunci rumah itu kepada tukang bangunan yang masih terlihat ogah-ogahan, dan berkata, "Rumah ini adalah hadiah dari kami sekeluarga, sebagai penghargaan atas kerja sama yang kauberikan selama ini. Sekarang rumah ini menjadi milikmu!"
Sulit melukiskan perasaan tukang bangunan saat itu. Yng jelas ia hanya mampu terpaku, diam seribu basa. Dia terkejut karena tidak menyangka akan mendapat pemberian itu. Dia juga malu karena sempat melakukan pekerjaan yang tidak berkualitas. Tentu saja dia menyesal, karena rumah yang akan ditempatinya di hari tua, ternyata adalah rumah yang dibangun secara ogah-ogahan, asal-asalan.
“Andaikata dari awal saya tahu bahwa rumah itu nantinya akan saya tempati, tentu saya akan mengerjakan dengan cara yang sebaik-baiknya, dengan bahan yang bermutu tinggi, agar hari tua saya menjadi lebih nikmat dan bahagia”. Begitulah gumam si tukang bangunan, tentu dengan nada sesal yang tinggi, sebab sekarang dia menempati rumah masa depan yang tidak berkualitas.
Itulah yang terjadi pada kehidupan kita. Tidak jarang di antara kita yang membangun ‘masa depannya’ secara ogah-ogahan, asal-asalan, tanpa keseriusan, atau bahkan membingungkan. Padahal sudah sangat jelas, bahwa apa pun yang dikerjakan hari ini, dan bagaimana cara kita melakukannya, adalah proyeksi dari kehidupan di masa depan.