Pada detik-detik menjelang akhir tahun, hampir di setiap perempatan jalan, semakin marak spanduk atau baliho besar-besar yang memasang iklan tentang ”Year End Sale” dengan diskon gede-gedean. Ada diskon lebih dari 20%, 30%, 50% bahkan sampai lebih dari 70%. Perang diskon, - umumnya produk fashion, - dengan aneka warna spanduk mencolok sudah menjadi hal lumrah dalam dunia bisnis. Iklan dalam spanduk-spanduk itu seolah berebut perhatian dari siapa pun yang menatapnya, sehingga mereka tergiring untuk datang ke tempat belanja yang dimaksud. Kita diingatkan oleh David Ogilvy, ”Iklan yang kreatif adalah iklan yang bisa berhasil menjual produk atau jasa”.
Mencermati produk-produk penjualan akhir tahun, ada kebiasaan yang dilakukan pemilik toko busana untuk senantiasa melakukan program cuci gudang. Setiap produk, khususnya fashion, memiliki siklus hidup masing-masing (product life cycle). Fashion sangat tergantung pada trend mode yang berlaku saat itu. Konon, ada kecenderungan bahwa produk fashion senantiasa berganti model setiap 3 bulan.
Dengan demikian model-model yang sudah tidak ngetren, selalu diletakkan di bagian belakang, sedangkan pada bagian depan, yang mudah ditangkap mata pengunjung, senantiasa dipajang produk-produk baru. Oleh karena itulah jika kita memasuki sebuah toko busana, apakah itu butik, factory outlet atau departement store, kita jumpai barang-barang baru yang dipajang pada deretan yang mudah ditangkap mata pengunjung.
Bagaimana nasib barang-barang lama? Itulah yang menjadi barang diskon. Semakin lama usia barang tersebut, semakin besar diskon yang diberikan. Hal itu dimaksudkan supaya barang-barang lama cepat habis dan digantikan oleh barang-barang baru. Lha kalau barang-barang itu tidak habis? Biasanya diputar atau disalurkan ke tempat lain yang sekiranya masih dapat menerima atau masih dapat menjualnya.
Jika memang kondisinya sudah mentok, tidak laku dijual, maka barang-barang itu akan dipilah-pilah dan dipilih-pilih. Barang-barang yang masih layak pakai, akan disumbangkan ke panti-panti asuhan, panti sosial, korban bencana atau siapa pun yang memerlukannya. Barang-barang yang tidak layak pakai, dimusnahkan. Dengan demikian, di gudang senantiasa ada barang baru, karena selalu ada pembaharuan, renewal.
Momentum akhir tahun, menggiring kenangan tentang ”cuci gudang”. Hidup kita, mirip dengan gudang itu. Saban tahun kita coba lagi untuk melakukan ”cuci gudang”. Barang-barang lama, yang sudah tidak terpakai, yang usang, yang tak berguna, hal-hal negatif, yang menimbulkan rusaknya relasi kita dengan sesama: dendam, iri hati, kebencian, sakit hati, kemarahan, kejengkelan, gosip, dan yang membuat orang lain tidak senang dengan kita, kita buang, kita singkirkan.
Barang-barang yang masih bermanfaat kita rawat: cinta, kasih sayang, perhatian, kepedulian, kedermawanan, empati, kejujuran, kesetiaan, kerendahan hati, dan keramah-tamahan tetap kita pertahankan. Kita juga senantiasa perlu memasukkan barang-barang baru: pengetahuan, wawasan, keterampilan, perilaku, pengalaman, yang memungkinkan kita untuk terus menerus baru, segar, menyenangkan, pertanda tumbuh dan berkembang menjadi lebih baik, lebih baik dan lebih baik lagi. Continuous improvement!
”Orang-orang yang berhenti belajar akan menjadi pemilik masa lalu. Orang-orang yang masih terus belajar, akan menjadi pemilik masa depan”, kata Mario Teguh dalam Golden Ways.
Mari kita belajar dari pengalaman hidup yang terpahat pada batu nisan dalam kuburan bawah tanah di Westminter Abbey, London, 1100 M.
“Tatkala aku masih muda serta bebas dan imajinasiku mengembara tanpa batas, aku bercita-cita untuk mengubah dunia. Tatkala aku semakin tua dan bijaksana, aku menyadari bahwa dunia tak akan berubah, dan aku agak memendekkan sasaranku serta memutuskan untuk mengubah negriku saja. Namun itu pun tampaknya tak dapat diubah.
Tatkala aku kian jauh mengarungi masa tuaku, dalam suatu upaya yang nekat, aku berniat keras untuk mengubah keluargaku, namun aduh, mereka pun tak berbeda. Dan tatkala aku berbaring di ranjang kematianku, aku tiba-tiba menyadari: Andaikata dulu aku pertama kali mengubah diriku sendiri saja, melalui teladan barangkali aku berhasil mengubah keluargaku. Dari inspirasi dan dorongan mereka, aku seharusnya mampu memperbaiki negeriku dan, siapa tahu, aku mungkin bahkan mampu mengubah dunia”.