Mohon tunggu...
Teha Sugiyo
Teha Sugiyo Mohon Tunggu... Guru - mea culpa, mea maxima culpa

guru dan pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kepada Desy Desol

11 Oktober 2015   18:28 Diperbarui: 11 Oktober 2015   18:28 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

 

Des,

Aku tulis surat ini kepadamu Des, ketika pengenalanku padamu belumlah tuntas. Tak pandai aku membaca serpih-serpih kata-katamu. Tak pintar aku mengumpulkan keping-keping puzzle tentang rindu, tentang cinta, tentang rembulan, bintang-gemintang dan matahari berseri. Kau bak misteri bagiku Des, bagai siang yang paling garang atau malam yang paling gulita. Semakin aku terjerumus ke lubang misteri itu semakin aku bertambah dahaga karena tak tahu apa-apa.

Des, dari keping-keping misteri itu aku coba kumpulkan dan susun ulang sehingga aku mendapatkan gambar sedikit tentangmu. Seperti orang buta yang meraba gajah, mungkin pemahamanku padamu juga sebatas yang dapat dirabanya.  Terlalu naif memang, namun apa hendak dikata. Sebagai seorang wanita yang memang masih muda dan senantiasa berjiwa muda, kau memang tak hanya elok di rupa tapi juga elok isi batok kepalamu. Tak hanya cantik di hati tapi juga pikir dan keprigelanmu. Ah... bukan mengada-ada, tapi memang demikianlah adanya...

Des, jujur kukatakan padamu, bahwa kau adalah seorang yang piawai mempermainkan kata. Di tanganmu dengan racikan imajinasi yang tak berkesudahan, kata dapat berubah menjadi apa saja, menjadi siapa saja. Kau dapat mengubahnya menjadi belati bermata tiga, yang mampu merajam dan mencecah siapa saja yang memiliki hati culas... Atau kau dapat mengubahnya menjadi sepoi angin sejuk yang membawa keteduhan yang damai. Ngelangut dan laksana berada di negeri antah berantah. Atau suatu saat kau dapat memainkannya sehingga siapa pun menjadi terharu biru, dibakar rindu, menggemaskan, membuat penasaran dan ingin menjitak rambutmu yang senantiasa berderai-derai ditampar angin pagi...

Des, kau pernah bicara tentang cinta. Cinta memang gila. Di mana ada cinta di situ ada kegilaan. Konon, kata sahibul hikayat yang pernah ditulis orang bijak, saat awal dunia terkembang kebaikan dan kejahatan  berkeliaran tak tentu arah. Mereka pun main petak umpet. Ada kegilaan, yang menghitung, “satu, dua, tiga...” dan semua sifat baik dan jahat itu pun bersembunyi. Kelembutan menggantung dirinya di ujung bulan, pengkhianatan bersembunyi di tumpukan sampah, kasih sayang bergulung di antara awan, dan nafsu kegairahan pergi ke tengah bumi. Kebohongan bilang akan sembunyi di bawah batu, tapi nyatanya di dasar danau. Katamakan masuk ke dalam kantung yang kemudian robek karena tak muat. Kegilaan terus menghitung hingga sampai angka seratus, cinta belum juga berhasil bersembunyi. Seperti keragu-raguan dalam cinta, dia tak bisa memutuskan ke mana akan bersembunyi. Kita semua tahu kan, betapa sulitnya menyembunyikan cinta.

Pada saat kegilaan sampai pada hitungan seratus dan mulai mencari teman-temannya.... dengan mudah kegilaan secara berturut-turut menemukan kemalasan, kelembutan, kebohongan, gairah... dan hampir semua telah ditemukan kecuali cinta. Kecemburuan yang iri pada cinta berbisik pada kegilaan, “Dia bersembunyi di semak bunga mawar”. Kegilaan lalu mengambil garpu tanah dan menusuk-nusukkannya secara serampangan ke arah semak mawar. Dia terus menusuk-nusuk sampai terdengar tangis memelas yang membuatnya berhenti. Cinta keluar dari persembunyiannya sambil menutup muka dengan tangan. Di antara jari-jemarinya mengalir darah segar yang ternyata keluar dari kedua bola matanya.  Kegilaan yang terlalu bersemangat menemukan cinta tanpa sengaja telah melukai mata Cinta dan membuatnya buta. Kegilaan menyesal dan minta maaf sambil bertanya, “Aku telah membuatmu buta, bagaimana aku  harus memperbaikinya?” Cinta menjawab, “Kau tak mungkin memperbaikinya, tapi kalau kau bersedia melakukan sesuatu untukku, kau bisa menjadi pemanduku!” Dan sejak itulah, cinta itu buta, namun ia selalu dapat melihat dalam kegelapan, karena didampingi kegilaan.

Des, kuakhiri suratku padamu ketika angin senja berbisik lembut pada serumpun bambu dekat kamarku. Salam cinta dari kegilaan.

 

NB : Ikuti Event Surat-menyurat di Sini:

http://www.kompasiana.com/androgini/event-fiksi-surat-menyurat-di-kompasiana_5618f89b4123bd3d16f2001f

 

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun