Mohon tunggu...
Teha Sugiyo
Teha Sugiyo Mohon Tunggu... Guru - mea culpa, mea maxima culpa

guru dan pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ratu Adil

26 Juli 2014   15:59 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:07 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

KISAH SANG RATU ADIL

Teha Sugiyo

DUNIA kini sedang jungkir balik. Segalanya telah berubah saat ini, dan tiada jalan mundur. Kita memasuki abad yang serba tak pasti. Pemasaran  massal sudah usang dan produksi massal pun akhirnya masuk museum. Di seluruh dunia, ekonomi sedang sempoyongan oleh pengaruh berbagai kekuatan baru. Banyak perusahaan raksasa pontang-panting karena tidak tahu bagaimana beradaptasi dengan kondisi yang berubah-ubah.

KONON tersebutlah Sang Ratu Adil, pemimpin sebuah perusahaan raksasa di Negeri Atas Angin. Perusahaan jasa yang memiliki 100 cabang di berbagai penjuru Negeri Atas Angin itu berpusat di kota Abrakadabra yang sibuk dan tak pernah tidur.

Sang Ratu Adil bukanlah pemimpin dadakan atau karbitan, tetapi beliau telah dipersiapkan sejak dini. Ayahnya, Raja Bijak memiliki prinsip yang pernah diungkapkan oleh Lao Tzu, yang kemudian populer di seluruh jagat, “ Berikan seseorang seekor ikan, maka Anda telah memberinya makan untuk satu hari. Ajari dia memancing, maka Anda memberinya makan seumur hidup”.

Raja Bijak tahu persis apa yang harus dipersiapkan bagi Putri Ratu Adil, juga Putera Mahkota, Pangeran Agape. Beliau mendidik kedua puteranya dengan prinsip-prinsip yang telah diberikan oleh alam, khususnya alam pertanian. Raja Bijak tidak ingin kedua puteranya menjadi orang-orang yang akan menghasilkan sesuatu untuk jangka pendek. Beliau ingin agar apa yang diterapkan dalam kehidupannya, juga kehidupan kedua puteranya bertahan sepanjang waktu, tak lekang oleh panas tak lapuk oleh hujan. Ringkasnya beliau menghendaki hasil jangka panjang. Untuk itulah Raja Bijak menerapkan prinsip alamiah yaitu hukum pertanian: mengolah tanah, menabur benih, merawatnya, menyianginya, mengairinya dan secara bertahap memupuk pertumbuhan dan perkembangan sampai masak benar.

Ratu Adil dan Pangeran Agape dididik dalam suasana yang penuh tantangan dan masalah. Manakala kedua putera mahkota itu mengeluh atau menggerutu Sang Ayah justru memberikan tantangan yang lebih besar. Tak dibiarkan mereka memiliki kesempatan mengeluh, tetapi justru dipenuhi dengan masalah demi masalah, kerumitan demi kerumitan sehingga mereka berdua terpacu untuk mengatasi berbagai masalah. Seperti orang tua bangsa Yunani, ketika anak kecilnya jatuh sewaktu bermain, selalu mengatakan, “Bangun kembali dengan tamengmu atau engkau harus digotong di atas tamengmu,” demikianlah yang selalu dipompakan kepada kedua putera itu untuk mengatasi masalah-masalah mereka. Ternyata mereka menjadi pemudi dan pemuda yang tangguh, tanggap dan senantiasa terlibat dengan berbagai perkara untuk membangun kerajaan bisnis di Negeri Atas Angin.

Ketika berbagai masalah, kerusuhan dan kekacauan bahkan badai dan berbagai macam krisis melanda Negeri Atas Angin, Ratu Adil dan Pangeran Agape tumbuh perkasa. Ratu Adil diserahi tugas dan tanggung jawab untuk memimpin kerajaan bisnis yang telah dibangun setengah abad lamanya, sedangkan Pangeran Agape menerima tugas sebagai pengganti ayahnya meneruskan kebijakan di Negeri Atas Angin.

Menerima tugas dan tanggung jawab yang tidak ringan itu Ratu Adil segera memanggil orang-orang kepercayaannya. Mereka melakukan sidak (inspeksi mendadak) ke 100 cabang yang dibawahinya. Selama hampir dua bulan waktu dihabiskan untuk melakukan sidak, blusukan dan memahami persoalan-persoalan yang ada, yang selama ini menjadi keluhan dan beban para karyawannya yang berjumlah sekitar  60 ribu orang. Nasib mereka,  - termasuk juga keluarga mereka, -  berada di tangan Sang Ratu Adil. Usai  melakukan sidak, bersama para direktur dan manajernya, Sang Ratu mengadakan rapat untuk menjelujuri berbagai permasalahan yang ada untuk dipecahkan. Beberapa masalah yang dihadapi itu, jika dirinci di antaranya adalah : Bisnis adalah bisnis, etika dan prinsip kadang harus mengalah pada profit; Sebagian besar sumber daya manusia mempunyai kemampuan, kreativitas, bakat, inisiatif dan keterampilan yang lebih banyak daripada yang diberikan; Tokoh-tokoh idola, kebanyakan adalah orang-orang yang berhasil menumpuk kekayaan; Banyak orang muak dengan pembicara motivasional yang hanya menyampaikan kisah-kisah menarik, yang dibalut dengan kalimat membuai dan menghibur. Orang butuh substansi, proses, pemecahan masalah kronis dan hasil jangka panjang.

Masih banyak masalah yang dihadapi oleh Sang Ratu Adil, namun hal-hal yang disebutkan di atas kiranya masalah yang perlu mendapatkan penanganan segera. Inilah pe-er yang dihadapi Sang Ratu bersama para stafnya. Mereka lalu bersepakat untuk mengadakan raker guna mencari jalan keluar  dari berbagai kemelut masalah yang dihadapi.  Selama tiga hari para manajer dan direktur saling berbagi pengalaman bertukar pikiran untuk mencari jalan terbaik guna mengatasi masalah yang ada, di suatu tempat yang sejuk dan menyenangkan.

Sang Ratu melihat para manajer dan direktur nampak tidak gembira mengikuti raker. Mereka menganggap hal ini begitu boring dan ‘memaksa’ mereka untuk hadir dan duduk diam mendengarkan sekumpulan ide abstrak. Orang-orang itu adalah bagian dari budaya paternalistik yang tergantung, yang memandang raker, pertemuan, pelatihan atau pengembangan sebagai biaya, bukan investasi. Sesungguhnyalah mereka menganggap bahwa organisasi mereka mengelola manusia sebagai barang.

Menyaksikan kondisi yang demikian, Sang Ratu lalu berujar, “Di sekolah, kita meminta siswa menceritakan kembali apa yang sudah kita ajarkan, kita menguji mereka tentang pelajaran-pelajaran kita. Mereka mengerti akan hal ini, namun mereka berpesta, bermalas-malasan dan hura-hura untuk kemudian melakukan belajar mendadak saat ujian. Istilah populer yang ada pada mereka adalah SKS = Sistem Kebut Semalam. Mereka sering berpikir bahwa  semua segi kehidupan  berpijak pada sistem jalan pintas yang sama. Mereka memiliki mentalitas menerabas”.

Para manajer dan direktur manggut-manggut sambil merasa tersodok ulu hatinya, karena mereka juga sering melakukan hal yang sama dalam pekerjaan mereka. Oleh karena itu salah seorang manajer mengacungkan tangan dan menanyakan bagaimana pemecahan masalahnya.

Ratu Adil dengan gayanya yang khas: tenang, bijak dan penuh optimisme berkata, “Untuk memecahkan masalah-masalah yang ada pada perusahaan kita, saudara-saudara, pusatkan pada prinsip. Satu-satunya hal yang bertahan sepanjang waktu adalah hukum pertanian. Kita harus mengolah tanah, menabur benih, merawatnya, menyianginya, mengairinya, secara bertahap memupuk pertumbuhan dan perkembangannya untuk kemudian memanen hasilnya.”

Kita sering beranggapan bahwa perubahan dan perbaikan harus dimulai dari luar, bukan dari diri sendiri. Bahkan apabila kita menyadari kebutuhan untuk berubah, biasanya pikiran kita langsung tertuju  kepada belajar keterampilan baru, bukan meningkatkan integritas terhadap prinsip-prinsip dasar. Namun terobosan-terobosan penting seringkali merupakan hasil dari perubahan pola pikir yang tradisional. “Saya menyebut perubahan ini, pergeseran paradigma,” kata sang Ratu Adil mantap.

“Kepemimpinan yang berprinsip”, kata Sang Ratu selanjutnya, “adalah memperkenalkan paradigma baru – yakni bahwa kita memusatkan kehidupan kita dan kepemimpinan kita terhadap organisasi dan orang pada prinsip-prinsip utama yang benar.”

Lalu bertanyalah salah seorang manajer dari cabang paling jauh, “Prinsip-prinsip yang mana yang harus kita lakukan dalam kepemimpinan kita?” Sebelum menjawab Sang Ratu manggut-manggut sambil tersenyum. Beliau merasa gembira karena apa yang diumpankan kepada para manajernya mendapatkan tanggapan secara positif. Ini membuat para manajer tidak mengantuk, tetapi justru berusaha keras berpikir sambil bertukar gagasan.

Prinsip-prinsip yang benar adalah seperti kompas, kata Sang Ratu Adil dengan suara mantap. Yaitu selalu menunjukkan arah. Apabila kita tahu cara membaca prinsip-prinsip itu, kita tidak akan tersesat, bingung atau terpedaya oleh suara-suara dan nilai-nilai yang bertentangan. Prinsip adalah hukum alam yang telah terbukti dan benar. Prinsip tidak berubah atau bergeser. Prinsip memberikan arah ‘utara sejati’ pada kehidupan kita saat mengarungi ‘arus-arus’ lingkungan kita. Prinsip berlaku di setiap saat dan setiap tempat. Prinsip muncul dalam bentuk nilai, ide, norma, dan ajaran yang meninggikan, memuliakan, menggenapi, memberdayakan, dan memberikan inspirasi kepada manusia. Sejarah mengajarkan bahwa apabila orang dan masyarakat bekerja menurut prinsip-prinsip yang benar, mereka berjaya. Akar kemunduran sosial adalah tindakan-tindakan bodoh yang mencerminkan pelanggaran prinsip-prinsip yang benar. Berapa banyak bencana ekonomi, krisis moneter, konflik antarbudaya, revolusi politik dan perang saudara yang mungkin dapat dihindari seandainya saja terdapat komitmen sosial yang lebih besar kepada prinsip-prinsip yang benar? Kepemimpinan yang berprinsip  berdasarkan pada kenyataan bahwa setiap pelanggaran hukum alam pasti akan membawa akibat buruk.

Bertanyalah seorang manajer dari cabang yang tidak pernah mendapat perhatian selama ini, “Jadi, apa sebenarnya kunci pengembangan kekuatan kita untuk mewujudkan mimpi-mimpi meraih tujuan bisnis kita?” Sebelum menjawab, sang Ratu tersenyum lembut.

Memusatkan kehidupan pada prinsip-prinsip yang benar adalah kunci pengembangan kekuatan internal dalam hidup kita. Dengan kekuatan ini kita dapat mewujudkan mimpi-mimpi kita. Pusat itu mengamankan, memandu dan memberdayakan. Seperti halnya poros, pusat menyatukan dan mempersatukan. Pusat merupakan inti misi pribadi dan organisasi. Pusat adalah dasar budaya. Pusat menyatukan nilai, struktur dan sistem yang dimiliki bersama.

Apapun yang terdapat pada pusat kehidupan kita menjadi sumber utama sistem penunjang hidup kita. Dalam skala besar sistem itu ditunjukkan oleh empat dimensi dasar, yakni rasa aman, panduan, sikap bijak dan kekuatan. Kepemimpinan dan kehidupan yang berprinsip mengacu pada empat sumber kekuatan internal ini.

Berfokus pada pusat-pusat alternatif: - pekerjaan, kesenangan, teman, musuh, pasangan hidup, keluarga, diri sendiri, agama, harta milik, uang dsb, - melemahkan dan menyesatkan kita. Akan tetapi apabila kita memusatkan  kehidupan kita pada prinsip-prinsip yang benar, kita menjadi lebih seimbang, utuh, teratur, mantap dan tegar. Kita mempunyai dasar bagi semua kegiatan, hubungan, dan keputusan. Kita juga mempunyai rasa tanggung jawab terhadap segala sesuatu  dalam hidup kita, termasuk waktu, bakat, uang, harta milik, hubungan keluarga kita dan tubuh kita. Kita menyadari kebutuhan untuk memanfaatkan semua itu untuk tujuan-tujuan baik dan sebagai  seorang pelayan, untuk bertanggung jawab akan penggunaannya.

Pusat-pusat alternatif organisasi, kata Sang Ratu Adil selanjutnya,  - yakni keuntungan, pemasok, karyawan, pemilik, pelanggan, program, kebijakan, persaingan, citra dan teknologi, -  bukanlah apa-apa dihadapkan pada paradigma yang berprinsip. Seperti halnya individu,  perusahaan yang berprinsip mempunyai tingkat rasa aman, panduan, sikap bijak dan kekuatan  yang lebih besar.

Beberapa manajer yang mulai tergerak untuk ikut ambil bagian dalam pemikiran demi kelangsungan perusahaan, akhirnya tidak bisa tinggal diam. Mereka semua mencoba urun rembuk, curah gagasam dan berbagi pengalaman, pemikiran dan perasaan. Rapat kerja itu menjadi kian rame dan hidup. Ide-ide dan gagasan-gagasan muncul berseliweran. Sang Ratu Adil menarik nafas lega. Ia merasa yakin, ternyata umpan-umpan yang diberikan kepada para manajernya ditanggapi secara positif. Ia semakin yakin bahwa apa pun yang terjadi jika kebersamaan ini dipertahankan:  saling bahu-membahu, bekerjasama untuk menyatukan hati, pikir dan paradigma, tujuan untuk kesejahteraan bersama akan dapat dicapai. Perusahaan akan tetap tegar, tumbuh subur di tengah bencana, kekacauan dan krisis yang bagaimana pun besarnya.

Salah seorang manajer kemudian berdiri. Di hadapan  Sang Ratu Adil, dia bertanya seolah menghiba, “ Jadi, apa yang harus kami lakukan jika kami ingin menjadi pemimpin yang berprinsip?”

Sang Ratu tidak segera  menjawab. Beliau menyapu seluruh wajah manajer dan direktur dengan pandangannya yang berwibawa. “Itulah, saudara-saudara yang perlu kita pikirkan bersama!” katanya kemudian memecah keheningan. “Marilah kita sekarang mencoba memberikan sumbangan pemikiran masing-masing, kiranya apa saja yang diperlukan untuk menjadi seorang pemimpin yang berprinsip”.

Tiba-tiba dari arah samping belakang kanan, seorang manajer berteriak, “Menurut saya, dia haruslah seseorang yang  terus-menerus belajar.”

“Bagus!” kata Sang Ratu, “Mari kita beri tepuk tangan untuk pendapat yang bagus ini!” Dan mereka pun bertepuk riuh membahana dengan gembira.

“Pemimpin itu harus berorientasi pada pelayanan,” seseorang dari samping kiri belakang menyahut, setelah tepuk tangan mereda. Segera saja, mereka berteriak, “Benarrrr!” Dan riuh rendahlah tepuk tangan para manajer itu.

Hening beberapa detik, Lalu sang Ratu dengan lembut bertanya kepada manajer yang duduk di depan sebelah kiri. “Barangkali Ibu Filia akan memberikan pendapatnya?” suara lembut yang penuh motivasi, membuat yang ditanya langsung berdiri.

“Baik, Ratu. Saya coba ungkapkan pemikiran saya… Bagi saya, pemimpin yang berprinsip senantiasa memancarkan energi yang positif!” katanya sambil malu-malu.

Ratu Adil langsung berteriak, “Bagusss! Benar,  Seratus persen benar! Mari kita tepuk tangan, saudara-saudara!” Dan tepuk tangan pun membahana.

“Bagaimana dengan Pak Direktur?” tanya sang Ratu seolah meminta pertimbangan pada para  direkturnya.

“Begini, saudara-saudara.  Ada beberapa hal yang menurut saya merupakan ciri pemimpin yang berprinsip. Mereka harus mempercayai orang lain; mereka hidup seimbang dan  mereka melihat hidup sebagai suatu petualangan…. Bagaimana?”

“Benaaarrr!” jawab seluruh peserta berbarengan seperti tembok runtuh. Peserta pun semakin bergairah dan gembira. Lalu ada tiga orang lagi yang mengacungkan tangannya. Setelah suasana mereda, seseorang berteriak,  “Pemimpin yang berprinsip haruslah orang yang dapat bersinergi”, katanya. Segera mendapat aplaus membahana.

“Ada satu hal lagi yang tidak boleh kita lupakan saudara-saudara, Pemimpin yang berprinsip adalah mereka yang selalu berlatih untuk memperbaharui diri,” katanya mantap. Sekali lagi tepuk tangan membahana seolah akan membelah ruangan.

Sang Ratu akhirnya memberikan aba-aba untuk meredakan suasana. Dengan suara tegas, beliau pun akhirnya berkata, “Saudara-saudara, ternyata kita telah berhasil menelorkan gagasan-gagasan yang sangat bermanfaat bagi kelangsungan perusahaan kita. Bersediakah saudara-saudara untuk menjadi pemimpin yang berprinsip dalam menjalankan tugas dan pekerjaan?” tanya Sang Ratu. Semua manajer dan peserta yang ada menjawab serentak, “Bersediaaaa…!!!”

“Nah, saudara-saudara, marilah kita akhiri pertemuan kita ini sambil menerapkan komitmen kita masing-masing untuk menjadi pemimpin-pemimpin yang berprinsip dalam kehidupan sehari-hari. Terima kasih dan selamat sore.” Begitu usai kata-kata Sang Ratu, beliau langsung keluar dari tempat duduknya dan berjalan ke tengah-tengah ruangan untuk menyalami semua manajer dan direktur. Dengan wajah cerah-ceria mereka pun pulang  ke rumah masing-masing.

Bandung, 2005, 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun