Mohon tunggu...
Sugiharto
Sugiharto Mohon Tunggu... Guru - Guru MAN 2 PATI

Saya sugiharto, Guru di MAN 2 PATI, Hobi membaca, menanam dan jalan-jalan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Garam dan Kehidupan

28 Agustus 2024   08:01 Diperbarui: 28 Agustus 2024   08:16 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kadang jalan takdir tidak susuai planning, membingungkan. Pingin "A" tapi melakukan  "B". pingin pintar tapi malas belajar, begitu juga pingin kaya tapi menghambur-hamburkan harta. Aku teringat dengan seseorang yang mendambakan Wanita pujaannya, mengejar tanpa mengenal waktu, terjengkal oleh perilakunya sendiri. Berkomitmen belum pada waktunya.

Hidup yang pasang surut perlu komitmen, pada sang pencipta, diri sendiri, alam dan manusia. Melanggar berarti mencari musuh. Melawan manusia Bersiap perang, melawan alam menunggu bencana.  Kehidupan selayaknya bersahabat dengan semua.

Di desaku, begitu juga desa disekitarku, penduduknya bersahabat pada sesama. Apalagi alam yang menjadi sumber penghidupan. Air mengalir disungai, ikan berenang dalamnya. Padi menguning subur di sawah, belut tumbuh besar di pematangnya.

Di musim kemarau, agak berbeda dari biasanya. Lahan di dekat laut disulap menjadi "pabrik" garam. Petak-petak tambak menjadi lahan penghasil garam. Bapakku menjadi salah satu petani garam di sana.

Garam menjadi komoditi menggiurkan. Modalnya Cuma tenaga. Tanpa obat tanpa pupuk dan tanpa menunggu waktu yang lama. Mengingat garam teringat ibuku.

Dirumah, Dapur mengepul tidak nyaman tanpa ada garam. Hambar. Garam yang tidak pernah tampak mewah di hidangan-hidangan kelas elit menjadi salah satu pasak rizki keluarga dan kebanyakan tetanggaku.

Menurutku, Sifat garam itu tawaddu',  memberi rasa tapi sirna warna dan keberadaannya. Di pagi, bapak-bapak pejuang garam mengambil tumpukan kristal air laut. Diangkut ke tempat yang kita menyebutnya dipo. Kemudian dijual.

Garam dan kehidupan erat dengan hidupku. Sedari kecil keluargaku mendapat rizki darinya. Ribuan rakyat desa menggantungkan hidupnya pada butir asin.

Saya pernah berkalkulasi. Tanpa garam harga sewa petak tambak berat terbayar. Modal dan hasil minim. Pendapatan dari ikan bandeng, udang paname, dan ikan lele tak cukup menutupi harga lelang tanah petak tambak. Disamping harga obat dan pakan ikan yang semakin naik, sulitnya mendapatkan air payau yang sesuai kebutuhan ikan menjadi momok bagi para petani.

Garam menjadi penyelamat. Ditengah musim kemarau yang membuat kulit para lelaki desa menjadi hitam legam. Walau hanya beberapa bulan. Air asin yang berubah menjadi kristal menyelamatkan kita. Terlebih para petani yang tak punya tanah keculai dengan menyewa.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun