Mohon tunggu...
Sugiharto
Sugiharto Mohon Tunggu... Guru - Guru MAN 2 PATI

Saya sugiharto, Guru di MAN 2 PATI, Hobi membaca, menanam dan jalan-jalan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kerja Paksa dan Nulis Paksa

13 Januari 2023   06:08 Diperbarui: 13 Januari 2023   06:25 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dulu, dulu sekali sebelum aku lahir, bapakku juga belum lahir, ada kerja paksa dari penjajah. Mungkin kakeknya kakekku pernah merasakannya. Atau ayahnya. Meraka memeras keringat tanpa hormat, diperas tanpa balas.

Tak peduli tua ataupun muda, semuanya wajib dipekerjakan. Seluruh tenaganya dieksploitasi sehabis-habisnya. Tak kenal kompromi. Memang dasar kompeni, tak sampai disitu, semua hasil kekayaan kitapun juga di babat habis, diangkut kenegaranya. Hanya recehan-recehan hasil alam kita sendiri yang dapat dinikmati. Nah, itu sejarah kelam masalalu kita. Tapi, disini saya ceriata Panjang lebar, hanya mau melihat sedikit dari perspektif positifnya. Walaupun pasti banyak yang kontra dengan sisi ini. Begini. Semua pasti itu ada hikmahnya. Saya kira setuju semua. Kerja paksa juga begitu. Terhubungnya anyer panarukan karena kerja paksa. Sekali lagi mencari positifnya.

Bayangkan, zaman dahul, belum ada alat secanggih sekarang. Jalan anyer sampai panarukan atau kita kenal dengan jalur pantura sekarang hanya dibangun dalam kurun waktu tiga tahun. Kurang lebih 1100 km lahan disulap menjadi jalan raya. Medannya juga tidak gampang. Banyak pegunungan yang harus benar-benar dimulai dari nol. Penebangan pohon, perataan tanah dan seterusnya. Bagaimana bisa mencapinya? Kerja paksa. Pengerahan tenaga warga biasa.

Saya sebenarnya ingin bercerita, jalan pantura atau jalan raya pos meminjam istilah dari pramudya Ananta tour, bisa kita nikmati sekarang merupakan hasil darah bahkan nyawa dari para pendahhulu kita. Butuh pengorbanan untuk mencapai kejayaan. Kira-kira seperti itu maksudnya.

Nah, kerja paksa ini saya kaitkan dengan nulis paksa. Nggak ngambung ya. ? Kalau pengen menjadi master piece penulis, mau tak mau ya harus nulis paksa. Dipaksa menulis. Jalan raya pos yang melegenda ceritanya butuh kerja paksa, karya kita, jika ingin melegnda juga butuh nulis paksa. Kita bisa belajar semangat "positif" dari kerja paksa ini pada penulis buku jalan raya pos jalan Daendles. Pak pramudya Ananta tour.

Beliau mengangkat kisah kerja paksa dengan begitu apik. Kisahnya padu dan deskriptif seperti kita diajak menonton filim dibioskop XXI. Layaknya melihat kisah nyata dalam benak kita. Peristiwa-peristiwa kejam terjadi bahkan dibahasakan dengan genosida. Pantura ada karena "genosida". kitab bisa meniru ini. Kita "menggenosidakan" rasa malas dan tak percaya diri. Membabat habis rasa tak bisa, tak ada waktu untuk tidak berkarya. Berapa nyawa yang telah melayang sia-sia, berapa banyak pula waktu kita terbuang sia-sia tanpa cipta karya. Kerja paksa telah berlalu, tinggal cerita dan pantura yang ada. Sekarang kita perlu nulis paksa. Menciptakan "pantura-pantura" baru tanpa menghilangkan nyawa.  Tanpa genosida.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun