Perjalanan sejarah bangsa Indonesia sebenarnya sudah cukup lama. Bila dihitung dari masa kemerdekaan RI, maka perjalanan bangsa ini sudah memasuki usia 68 tahun. Kalau kita analogikan dengan umur manusia, maka usia tersebut menggambarkan kematangan dan kedewasaan. Indonesia seharusnya sudah matang dan dewasa. Belum lagi, kalau kita ingat, bahwa ketika Indonesia mendapatkan kemerdekaannya, pada saat yang bersamaan Jepang mengalami kehancuran. Karena saat itu ( tanggal 6 dan 9 Agustus 1945 ) kedua kotanya : Nagasaki dan Hiroshima dibom oleh tentara sekutu. Dengan melihat peristiwa tersebut, harusnya kita lebih dulu maju dibanding Jepang. Tapi, justeru yang terjadi sebaliknya. Kita tertinggal jauh. Sebagai contoh, saat ini misalnya Mahasiswa Jepang sudah mampu membuat handphone sementara mahasiswa Indonesia baru mampu menggunakan handphone.
Memang, banyak berbagai pendapat.Ada yang mengatakan, bahwa ketertinggalan Indonesia, karena adanya unsur cerita rakyat yang tidak mendidik anak bangsa secara baik. Misalnya saja, cerita kancil mencuri ketimun. Bagi sebagian orang, cerita tersebut dinilai telah membuat petaka nasional. Karena, substansi nilai moral yang terkandung di dalamnya, telah mendorong anak-anak bangsa untuk menjadi koruptor. Sebab, pesan yang mereka tangkap dari cerita tersebut adalah bagaimana menghadapi lawan dengan cara licik. Bagaimana mengalahkan musuh dengan tipu muslihat dan mendapatkan uang dengan cara kotor. Maka, yang terjadi kemudian adalah munculnya politisi licik, yang suka menipu wong cilik dengan cara cerdik. Perlu kita ketahui, bahwa mereka yang tampil dipentas pemerintahan orde lama dan orde baru adalah anak-anak yang dahulu menyimpan memori cerita kancil mencuri timun. Maka sangat mungkin maraknya praktek korupsi di kedua era tersebut, terinspirasi oleh liciknya sang kancil. Sehingga, idealisme yang awalnya diperjuangkan untuk membangun bangsa, akhirnya luntur seiring dengan berjalannya waktu dan banyaknya kepentingan yang menggelayuti mereka.
Oleh karena itu, sempat ada yang berkata bahwa merdeka yang sebenarnya terjadi hanya satu kali, yaitu sesaat setelah Soekarno dan M. Hatta memproklamirkan Indonesia Merdeka, pada tanggal 17 Agustus 1945 di jalan Pegangsaan Timur no.56 Jakarta. Ada yang mempelesetkan, sekali merdeka dan merdeka sekali, Yaitu pada saat diproklamirkan saja. Selebihnya adalah jalan derita panjang. Indonesia selepas dari cengkraman Belanda selama 350 tahun, kemudian pindah ke tangan Dai Nippon tiga setengah tahun. Pasca kemerdekaan pindah ke pangkuan Soekarno selama 22 tahun dan kemudian berpindah lagi ke tangan Soeharto selama 32 tahun. Setelah itu, lahirlah era reformasi yang menjadi harapan dari seluruh bangsa Indonesia. Tapi, entah kenapa, meski era reformasi telah memasuki usia 15 tahun, tetap saja kita merasa belum merdeka secara penuh.
Mendiang presiden Soekarno, meski tergoda kekuasaan dan melanggar konstitusi, dengan memutuskan menjadi presiden seumur hidup. Beliau, tetap kita akui sebagai bapak proklamasi dan tercatat sebagai salah satu putra terbaik Indonesia. Di masa pemerintahannya, Indonesia cukup di segani dan dikenal memiliki prinsip serta harga diri.
Almarhum Soeharto, meski diakhir pemerintahannya dihujat dan dicaci maki. Tapi bangsa Indonesia tidak bisa melupakan, bahwa di tangan beliau pembangunan Indonesia mengalami kemajuan yang sangat pesat. Sehingga atas jasanya itulah melekat gelar padanya sebagai Bapak Pembangunan. Walaupun, konon gelar tersebut hanya sebagai rekayasa belaka. Tapi, terlepas dari itu, di era Soeharto stabilitas keamanan dan ekonomi terjaga dengan baik.
Berbeda dengan pemimpin pasca Soeharto. Mungkin, karena kurang konsen dengan perlunya keutuhan NKRI. Sehingga, belakangan kita tahu, Timor Timur lepas dari Indonesia. Kemudian, dua pulau cantik, Ligitan dan Sipadan yang ada di sebelah timur Kalimantan juga berpindah tangan ke Malaysia, akibat kita kalah dalam diplomasi internasional. Selain itu, keadaan diperparah dengan penjualan aset-aset negara yang cukup strategis oleh pejabat berwenang tanpa pengkajian secara mendalam terlebih dahulu.
Kalau, orde lama dan orde baru di tandai dengan dominasi peran eksekutif termasuk dalam hal korupsi, maka di era reformasi eksekutif dan legislatif saling berebut proyek dan berlomba memperkaya diri. Tapi, untungnya belakangan, pemerintah membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi, untuk memperkarakan seluruh pejabat yang terindikasi melakukan penyelewengan uang negara.
Barang kali perbedaan yang agak menyolok antara orde reformasi dengan sebelumnya adalah pemandangan penjara yang berbeda. Kalau di era sebelumnya, pejabat tidak tersentuh oleh hukum dan penjara, di era reformasi kita bisa rekreasi ke penjara untuk menyaksikan para pejabat yang terkena sanksi pidana. Meskipun masih ada yang melihat, bahwa upaya yang dilakukan KPK masih tebang pilih.
Tapi, kita patut bersyukur meskipun yang dilakukan pemerintahan sekarang masih jauh dari sempurna. Setidaknya, kita masih bisa berharap bahwa, di tengah keterpurukan bangsa ini, ternyata masih ada pribadi-pribadi yang konsisten menjalankan kebenaran dan memiliki komitmen untuk membangun kembali bangsanya.
Di sisi lain, kita turut prihatin bila melihat kehidupan politik bangsa ini. Sebab, ada fenomena yang bergeser di tengah masyarakat kita. Artinya bila dahulu, masyarakat yang terjun ke dunia politik adalah mereka yang memahami betul tentang dunia politik, sementara sekarang siapapun bisa terjun ke arena politik dan mencalonkan diri sebagai legislatif walaupun minus pengetahuan tentang politik sama sekali. Yang penting ada uang, punya koneksi dan bergabung dengan salah satu partai yang mengusungnya.
Fenomena ini tidak hanya membingungkan kalangan masyarakat luas, tapi lingkungan akademis ataupun sebagian kaum terpelajar yang mencermati hal ini juga bingung.
Belum lagi, kalau kita mengetahui proses rekrutmen dan ketidakjelasan sebagian partai dalam menentukan kriteria caleg yang diusungnya.
Kemudian dalam berbagai kasus, kita tentu pernah mendengar. Ada beberapa calon legislatif, bahkan Gubernur yang menggunakan ijazah palsu. Sungguh memprihatinkan. Dan beberapa tahun yang lalu, menjelang pemilu 9 April 2009, kita melihat banyak sekali caleg-caleg yang kurang berbobot, bermasalah dan tidak jelas latar belakang pendidikannya bermunculan di mana-mana.
Dalam sebuah obrolan dengan seorang ustadz, saya mendapat wejangan :” Sebenarnya konsep ibadah dalam Islam meliputi seluruh aspek kehidupan : Politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan juga keamanan. Jadi,memilih para caleg dan pemimpin negara adalah bagian dari ibadah, yang harus kita pertanggung jawabkan dunia-akhirat. Dan kriteria pemimpin yang baik tentu saja: yang dapat dipercaya, tidak pendusta, mau mendengar aspirasi dan tentu saja cerdas serta berkualitas. Untuk itu, dalam pemilu April nanti, kita harus betul-betul memohon petunjuk kepada Allah, melalui shalat istikharah, agar dapat memilih wakil-wakil rakyat dengan tepat dan kepala negara yang dapat mengemban amanat umat. Karena Rasulullah bersabda : “ Jika suatu urusan ( pengelolaan negara ) diserahkan bukan pada ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya.”
Peribahasa mengatakan, hanya keledailah yang terperosok dalam lubang yang sama sampai dua kali. Semoga kita bukan bagian dari keledai. Wallahu a`lam bisshawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H