Jakarta bukan tempatnya orang kampungÂ
Jakarta pagi ini masih sama, deretan mobil dan gedung-gedung mimpi  berderet kiri kanan jalan masih setia menancap pada parau waktu yang semakin kejam, untuk pemimpi baru di kaki tanahmu oh jakarta. Sunyi nampak layu, hinggar bingar hanya milik mereka berkantong dollar.
Kini hanya sapa? Itu saja tidak lagi ramah? Seolah kami ini maling atau pemerkosa yang berkeliaran mencari mangsa? Padahal! Kami sedang mencari mimpi di tanah yang katanya tempat segala mimpi, tapi! Nyatanya masih belum peduli pada kami, yang lugu dan belum mengerti warna gelap ibu kota Indonesia.
Yang kami tau hanya pemberitaan di layar televisi hitam putih, tentang gubernur yang katanya suka berteriak lantang padahal bagi kami berteriak lantang adalah hal biasa sebagai wujud rasa kasih yang teramat dalam. Nyatanya benar pak gubernur bukan hanya lantang bersuara tapi juga nyata dalam pembangunan, meski belum merata, apa lagi seperti kami ini yang masih berpacu dengan waktu untuk mengejar mimpi kami yang sangat sederhana yaitu ingin membuat senyum di pipi ibu selepas kami pulang dari ibu kota.
Tapi maaf ibu.. Â kami masih terseok arus terbawah deras kehidupan yang tak seperti orang ceritakan saat kami masih di kampung, semua itu palsu! Bohong! Ibu kota hanya tempat dimana orang punya kelompok punya golongan punya mereka yang hanya mementingkan kepentingan pribadi golongan serta kelompok hanya untuk menujukan eksiatensi mereka pada kelompok lain.
Maaf ibu....mungkin bukan ditanah ini mimpi kami terwujud nyata. Mungkin di tanah lain yang lebih ramah. .atau kami harus pulang kampung dengan tangan kosong???....tidak mungkin ibu..kami harus dan harus bisa membuktikan kalau kami bisa membuat senyum dibibirmu ibu....
Â
Â
_____
Sugidi p
Jakarta, 21 Mei 2016